Selasa, 29 April 2014

Bioteknologi Aquaculture

Penilaian Ekoefisien Budidaya Intensif Udang Vanname (Litopenaeus vannamei)  Berbasis teknologi Bioflok

Dalam sistem berbasis lahan, budidaya tidak hanya mengambil air dan mengembalikannya, akan tetapi kondisi air buangan yang dikeluarkan dalam kondisi sudah terdegradasi. Di daerah beriklim tropis penggunaan air juga berarti mempercepat hilangnya air permukaan tanah karena penguapan dan rembesan dengan rerata 1-3% volume kolam per hari (Kautsky et al , 2000a).  Untuk mengurangi dampak negatif limbah budidaya terhadap lingkungan, budidaya udang dapat dilakukan dengan sistem zero exchange water sehingga dapat mengurangi resiko pencemaran limbah budidaya udang ke perairan umum (Crab, et al. 2009). Namun pergantian air yang terbatas dan kepadatan tinggi berpotensi menaikan resiko akumulasi bahan organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan, residu ekskresi ammonia dan sisa metabolisme (Read & Fernandes, 2003). Reduksi ammonia dan nitrit dapat dilakukan dengan perlakuan kimia, fisika dan biologi,
Salah satunya adalah dengan penerapan teknologi bioflok (bio-floc technology system) (Avnimelech, 1999). Penerapan teknologi bioflok dalam kegiatan budidaya udang/ikan prinsipnya memanfaatkan limbah ammonia dan nitrit pada kolam budidaya menjadi bahan pakan alami dengan bantuan bakteri heterotrofik, akan tetapi proses penyerapan nitrogen anorganik oleh bakteri hanya terjadi ketika rasio C/N lebih tinggi dari 10 (Burford, 2003). Ballester et al (2010) mengatakan bahwa teknologi bioflok pada budidaya ikan dan udang dapat mengurangi konsumsi tepung ikan dan rasio konversi pakan ikan dapat dikurangi karena tergantikan oleh produksi pakan alami berupa bioflok. Dalam hal penggunaan energi, jejak carbon terkait kegiatan budidaya udang meliputi penggunaan langsung,
Bila dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional teknologi bioflok dianggap lebih ramah lingkungan karena hemat dalam hal penggunaan air, pergantian air yang terbatas mengurangi risiko penyebaran patogen, dan penggunaan lahan lebih optimal karena kepadatan tinggi (McIntosh et al., 2000). Dalam budidaya intensif, pemberian pakan dan teknik pemeliharaan kualitas air dengan sistem tertutup dan pergantian air terbatas, membuka peluang penggunaan energi tinggi dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan (Folke 1988). Roy dan Knowles (1995) mengkritisi bahwa teknologi bioflok hanya berkonsentrasi pada konversi TAN (total ammonia nitrogen) menjadi nitrit, tetapi tidak memperhitungkan konsumsi O2 yang dibutuhkan untuk proses aerobik oleh bakteri dalam proses mengubah nitrit menjadi nitrat. Teknik bioflok dapat menyebabkan masalah lingkungan lain yang berkaitan dengan akumulasi nitrat. Klaim ramah lingkungan teknologi bioflok masih terbatas pada berkurangnya dampak lingkungan perairan, seperti pencemaran bahan organik, penyebaran patogen dan efesiensi penggunaan lahan serta air, sementara input energi, kebutuhan bahan dan peralatan juga berpotensi menyumbang potensi penurunan kualitas lingkungan global.
Penerapan teknologi bioflok tidak serta merata menyelesaikan persoalan lingkungan pada kegiatan budidaya udang vanname, karena masih menjadi perdebatan karena input energi dan bahan dalam penerapannya. Salah satu cara untuk mengukur keberlanjutan lingkungan suatu kegiatan produksi adalah dengan penilaian ekoefesiensi. Ekoefisiensi adalah alat bantu untuk mengukur nilai skala lingkungan suatu produk dari prespektif ekonomi dan biaya lingkungan yang ditimbulkan. Ekoefisiensi didefinisikan sebagai konsep efisiensi yang memasukan aspek sumberdaya alam dan proses produksi yang meminimalkan input bahan baku, air, energi serta dampak lingkungan per unit produksi. World Bussiness Council for Sustainable Development memperkenalkan konsep tersebut dan mengidentifikasi adanya tujuh faktor kunci dalam eko-efisensi yaitu, pengurangan bahan baku, mengurangi konsumsi energi, mengurangi pencemaran, memperbesar daur ulang bahan, memperbesar porsi sumberdaya alam yang  renewable, memperpanjang umur pakai produk dan meningkatkan intensitas pelayanan (ProLH, 2007).
Biomassa mikroba/ bakteri yang tumbuh di kotoran ikan, pakan yang tidak terzmakan dan limbah budidaya dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan pada media budidaya, seperti ammonium. Kekuatan utama dan pendorong berjalannya sistem ini adalah pertumbuhan bakteri heterotrofik secara intensif (Avnimelech, 2006). Bakteri heterotrof diberikan guna membantu proses penguraian limbah nitrogen organik dari pakan dan sisa metabolisme untuk diubah menjadi biomassa bakteri (Schneider et al., 2006). Biofloc Technology System adalah upaya menumbuhkan bakteri heterotrofik dan alga dalam flock (kumpulan) pada kondisi terkendali di dalam perairan.
Karakter kunci penerapan teknologi ini penggunaan geomembrane untuk melapisi dasar dan pematang tambak yang bertujuan agar proses biokimia di dalam tambak dapat dikendalikan. Kincir air digunakan untuk mensuplai oksigen
agar proses oksidasi dan kebutuhan respirasi terpenuhi, seiring pemberian karbon organik untuk menjaga C:N ratio berada pada level > 10. Dari hasil observasi dan interview diperoleh data inventory input bahan dan sumberdaya seperti tertera pada tabel 2. Hasil perhitungan LCIA menunjukan bahwa dampak lingkungan yang berasal energi listrik memberi kontribusi tertinggi, menyusul input pakan dan bahan kimia. Berdasarkan sumber bahan dan energi yang digunakan dalam proses budidaya tersebut, kontribusi dampak diatas 5% adalah listrik (42%), penggunaan klorin (27%), transportasi bahan (19%), dan bahan-bahan lain (14%).
Penilaian dampak lingkungan dari siklus produksi dengan menggunakan metode eco-indicator 95 dan perhitungan eco-costs 2012 menghasilkan besaran biaya virtual sebagai biaya preventif pecegahan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Biaya lingkungan setelah dilakukan normalisai dan pembobotan dari lima kategori dampak lingkungan yaitu  achidification,  carcinogens,  eutrophication,  greenhouse dan  summer smog pada kegiatan tersebut adalah Rp.1.089.170,-. (berdasarkan nilai konversi euro ke rupiah bank indonesia tgl 2 Agustus 2013). Biaya terbesar proses budidaya untuk menghasilkan 1 ton udang vanname dengan teknologi bioflok adalah pakan dengan nilai sebesar Rp. 18.301.500,- (69%), menyusul listrik Rp. 4.972.500,-(19%) dan biaya lainnya termasuk benih, bahan kimia dan HDPE sebesar Rp. 3.422.452,- (12%). Total biaya operasional per ton produksi diluar biaya investasi tambak dan tenaga kerja adalah Rp. 26.696.452,-. Harga jual udang vanname selain dipengaruhi pasar seperti persediaan dan permintaan pasar, juga dipengaruhi oleh ukuran udang yaitu satuan jumlah udang per kg. Semakin besar ukuran per satuan udang, maka semakin tinggi harganya.
Berdasarkan data penjualan dengan ukuran size 60 ekor/kg harga jualnya adalah Rp. 50.000,-/kg. Nilai 1 ton udang vanname dengan ukuran tersebut akan menghasilkan Rp. 50.000.000,-. Dengan demikian  net value kegiatan tersebut adalah Rp. 23.303.548,-. Nilai Eco-Effeciency Indek (EEI) diperoleh dengan membagi price-cost  dibagi nilai semua biaya meliputi biaya riil dan biaya virtual untuk pencegahan dampak lingkungan. Nilai EEI pada kegiatan tersebut berada pada rentang 0-1 yaitu sebesar 0,856 artinya kegiatan budidaya udang vanname berbasis bioflok dalam katagori affordable (terjangkau secara ekonomi) dan belum masuk dalam katagori  sustainable (berkelanjutan). Pada dasarnya penilaian ekoefeisensi adalah cara cepat untuk mengetahui bagaimana kegiatan ekonomi mempengaruhi lingkungan alam untuk mencipatakan sebuah nilai ekonomi. Dengan nilai EVR 0,048, walaupun nilai EEI menandakan tidak sustainable namun pengaruh tersebut masih tergolong kecil, dengan mengevaluasi penggunaan bahan dan input energi listrik maka nilai EVR bisa diperkecil. Bila nilai EVR semakin kecil maka nilai kelayakan proses produksi udang vanname berbasis bioflok semakin tinggi.
Karena merupakan upaya peningkatan kualitas lingkungan dari setiap nilai ekonomi yang diciptakan maka tingkat ekoefisiensi dapat dikuantifikasikan. Nilai EER rate pada budidaya udang vanname berbasis teknologi bioflok adalah 61%, nilai ini dipengaruhi oleh biaya lingkungan yang ditanggung. Semakin kecil dampak lingkungan yang ditimbulkan maka semikn kecil biaya preventif yang harus dibayarkan dan dengan demikian maka semakin besar nilai EER rate. Berbeda dengan teknik konvensional seperti biofiltrasi, bioflok teknologi mendukung penguraian nitrogen, bahan organik dan biologis asalkan oksigen terlarut dalam air tinggi (Avnimelech, 2009). Penerapan teknologi bioflok membutuhkan manajemen yang tepat agar bisa berfungsi baik seiring tuntutan pengurangan dampak lingkungan akibat kebutuhan bahan dan energi.
Teknologi bioflok berusaha mereduksi akumulasi  ammonium nitrogen dari kemungkinan pecemaran akibat pembuangan limbah, namun input bahan dan energi listrik yang besar belum memenuhi konsep  sustainable menurut perhitungan EEI. Untuk meningkatkan eko-efesiensi dan reduksi dampak lingkungan maka perlu untuk mempertimbangakan kembali penggunaan energi dan bahan yang menyumbang dampak lingkungan tinggi energi listrik, pakan dengan bahan baku impor dan bahan kimia (klorin).
Kontribusi dampak lingkungan terbesar kegiatan budidaya udang vaname di BBPBAP Jepara berasal dari input energi listrik, input pakan udang, dan bahan kimia. Nilai net value per ton produksi adalah Rp. 23.303.548,-, nilai EEI 0,856, nilai EVR 0,046, dan EER  rate sebesar 95%. Dari penilaian EEI kegiatan produksi udang vanname dengan biofloc technology system tergolong dalam kategori affordable (terjangkau secara ekonomi) dan belum masuk dalam katagori sustainable (berkelanjutan). Nilai ekoefisiensi perlu ditingkatkan dengan mereduksi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penggunaan bahan, peralatan dan konsumsi energi. Dengan perbaikan manajemen diharapkan akan
mengurangi biaya produksi dan biaya lingkungan sehingga dapat meningkatkan net value dan ekoefisiensi usaha.






Dapus

Ma’in, Sutrisno Anggoro dkk.2013. Penilaian Ekoefisien Budidaya Intensif
Udang Vanname (Litopenaeus vannamei)  Berbasis teknologi Bioflok.
[jurnal]  FPIK. Univ. Diponegoro. Semarang


Sabtu, 26 April 2014

KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI JAMUR SAPROLEGNIA SP. SERTA PENGGUNAAN FORMALIN UNTUK PENGENDALIAN SAPROLEGNIASIS PADA TELUR IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.)

Pada budidaya perikanan, ikan senantiasa hidup dalam lingkungan yang mengandung berbagai mikrobia patogen. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur adalah Saprolegniasis merupakan penyakit pada ikan dan telur ikan yang disebabkan oleh kapang Saprolegnia atau watermolds(Klinger dan Francis-Flyod, 1996). Arsyad dan Handarini (1991) dalam Rukmana (1997) menyatakan bahwa  Saprolegnia merupakan salah satu hama dan penyakit yang sering menyerang ikan nila merah.
kalsifikasi jamur Saprolegnia sp  Menurut Srikandi Fardiaz (1992), selengkapnya adalah sebagai berikut :
Kelas      :   Phycomycetes
Subklas   :   Oomycetes
Bangsa    :   Saprolegniales
Suku       :   Saprolegniaceae
                        Marga     :   Saprolegnia
Jenis       :   Saprolegnia sp.
Termasuk kedalam spesies jamur Saprolegnia spp adalah ; Saprolegnia australisSaprolegnia ferax, Saprolegnia declina, Saprolegnia longicaulis, Saprolegnia mixta, Saprolegnia parasitica, Saprolegnia sporongium,  Saprolegnia variabilis.
Jamur Saprolegnia sp. termasuk kedalam Klas Phycomycetes (klas Oomycetes), disebut juga dengan jamur ganggang sebab sifatnya mirip dengan ganggang hanya tidak mengandung clorofil. Disusun oleh benang-benang hyfa yang tidak mempunyai sekat pemisah (septa), tetapi bercabang banyak menjadi misellium.
              Klas Phycomycetes ialah klas pertama dari jamur dan dianggap berasal dari algae, (algae-hijau), dan dalam bahasa Belanda jamur ini disebut ”Wierzwammen”. Klas ini terdiri dari 300 genera dengan 1200 spesies yang umumnya mempunyai fungsi untuk menghilangkan partikel organik yang ada dalam air tawar. (Ratentondok A., 1985).
               Klas Phycomycetes dapat dibedakan  atas ;
1.  Zygomycetes, melakukan reproduksi seksual dengan membentuk spora   
 seksual yang disebut zigospora dan
2.  Oomycetes, merupakan jamur yang terdapat diperairan dan tidak umum    terdapat dalam makanan. Anggota dalam Oomycetes disebut jamur tingkat rendah, spesiesnya bervariasi dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks. Kapang air yang sederhana bersifat uniseluler dan tidak membentuk miselium serta melakukan reproduksi aseksual dengan membentuk zoospora yang motil, yang mempunyai satu atau dua flagela seperti pada protozoa.Termasuk kedalam oomyces adalah jamur Saprolegnia sp  dan Allomyces (Srikandi Fardiaz, 1992)
Morfologi Saprolegnia sp. adalah sebagai berikut :
·      Kapang Saprolegnia sp. berbentuk benang, menyerupai kapas, berwarna putih sampai kelabu dan coklat (Klinger dan Francis-Flyod, 1996).
·      Hifa Saprolegnia sp. berkoloni pada telur yang telah mati, menghasilkan miselia kusut yang berlebih sehingga mengakibatkan matinya telur hidup yang berada di sekitar telur mati tersebut. Hifa Saprolegnia sp. akan menghalangi masuknya air yang mengandung oksigen dalam telur, sehingga mengganggu pernapasan telur ikan (Bauer et al., 1973 dalam Stoskopf, 1993).
     Strategi untuk kontrol dan pencegahan infeksi saprolegnia adalah :
·      Menurut Bruno dan Wood (1994), kombinasi pengelolaan dan teknik pembenihan yang bagus dengan pengobatan kimia. Khususnya selama periode 2–4 hari setelah pembenihan.
·      Brown dan Gratzek (1980) dalam Meyer (2002) menyatakan bahwa infeksi Saprolegnia sp. pada telur ikan dapat diminimalisasi dengan mengurangi bahan organik dalam air dan direndam dalam larutan antifungal.
     Jamur  Saprolegnia  sp. adalah  jamur air tawar yang hidup di lingkungan air tawar dan memerlukan air untuk tumbuh dan bereproduksi. Jamur Saprolegnia sp dapat juga ditemukan di air payau dan air asin. Sementara itu  Saprolegnia sp. juga digambarkan sebagai "mold",   dengan perbedaan bahwa menjadi "mold" adalah massa jamurnya. Makanan favorit dari jamur  Saprolegnia sp adalah jaringan organik yang sudah mati. Kita  dapat melihat bukti dari jamur saprolegnia pada ikan yang mati, telur ikan yang hidup dan yang mati bahkan pada makanan yang tersisa di air. Secara khusus kita melihat telur koi yang terinfeksi pertama-tama dengan jamur selanjutnya menyebar untuk membunuh telur yang subur. Telur-telur yang terinfeksi memiliki penutup seperti kapas berbenang halus. Jamur Saprolegnia sp juga suka makan pada jaringan yang terbuka dan busuk yang disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti borok.
          Reproduksi jamur dapat berlangsung secara sexual dan asexual. Reproduksi sexual dapat berlangsung melalui: zygospora, oospora, ascospora atau basidiospora. Reproduksi sexual berlangsung melalui penggabungan inti dari dua sel (antheridium + antheridial) untuk menghasilan oogonium atau bakal jamur (Srikandi Fardiaz, 1992). Reproduksi asexual (somatic vegetatif) dapat berlangsung melalui dua proses yaitu sporulasi dan mycelia terpotong. Dari kedua proses tersebut, reproduksi melalui proses sporulasi umumnya lebih produktif.  Hampir sebagian besar jenis jamur akuatik mampu memproduksi spora (zoospora) berflagel dan dapat berenang bebas sehingga sangat efektif untuk penyebarannya. Spora dari jamur parasitik (obligat atau fakultatif) merupakan unit penginfeksi primer, resisten terhadap panas, kekeringan, dan desinfektan serta mampu melawan mekanisme pertahanan tubuh inang. 
     Keberadaan ikan/telur yang mati di suatu perairan merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan jamur. Pada kondisi tersebut produksi spora infektif juga akan berlangsung secara eksponensial, sehingga peluang terjadinya infeksi jamur pada seluruh populasi tersebut akan sangat mudah meskipun hanya dengan luka atau stressor yang sangat kecil. Hampir semua jenis ikan air tawar termasuk telurnya rentan terhadap infeksi ketiga jenis jamur tersebut, dan transmisi (penularan) yang paling potensial adalah melalui spora di air (horizontal transmission)
     Hal ini lazim terjadi pada kepala atau sirip ikan Dengan menggunakan mikroskop, akan terlihat jamur  Saprolegnia sp  tersusun atas filamen-filamen yang cenderung memiliki ujung-ujung berbentuk speris. Di ujung-ujung inilah yang menjadi rumah bagi zoospore, atau sebagai "benih" dari jamur  Saprolegnia sp, yang memungkinkan bisa berkembang biak.  Filamen-fIlamen tersebut disebut dengan hyphae dan inilah yang membuat jamur  Saprolegnia sp. terlihat seperti kapas. Hyphae inilah yang menyerang jaringan ikan. Pada gambar dapat  dilihat hyphae dengan ujung-ujungnya yang berbentuk speris. Dengan menggunakan mikroskop 400x, struktur tersebut akan terlihat sama.
Gejala klinis .
o  Infeksi saprolegniasis relative mudah dikenali, yaitu terlihat adanya benang benang halus menyerupai kapas yang menempel pada telur atau luka pada bagian eksternal ikan. Gejala tersebut juga dapat digunakan sebagai  diagnosa awal.
o  Diagnosa juga dapat dilakukan secara laboratories dengan cara mengambil mycelia, diletakkan pada permukaan slide glas dan ditetesi sedikit air untuk selanjutnya diamati di bawah mikroskop.
o  Mycelia penyebab saprolegniasis memiliki percabangan dengan struktur hypha aseptate. Reproduksi asexual dapat diamati dari keberadaan zoosporangium pada ujung hypha:  Saprolegnia sp sp. menghasilkan zoospore primer & sekunder.
o  Saprolegnia sp biasanya ditandai dengan munculnya "benda" seperti kapas, berwarna putih, terkadang dengan kombinasi kelabu dan coklat, pada kulit, sirip, insang, mata atau telur ikan. Apabila anda sempat melihatnya di bawah mikroskop maka akan tampak jamur ini seperti sebuah pohon yang bercabang-cabang.
Beberapa larutan antifungal telah direkomedasikan, yaitu perendaman telur ikan dalam larutan malachite green dan atau larutan formalin. Formalin adalah larutan formaldehid dengan konsentrasi 37% dalam air. Percampuran formaldehid dengan air menyebabkan ikatan ion tidak stabil sehingga formalin mudah berubah menjadi paraformaldehid yang beracun. Formaldehid yang terkandung dalam formalin mampu digunakan sebagai disinfektan. Formaldehid dapat mematikan jaringan dengan cara mendenaturasi protein sehingga jaringan kehilangan fungsi biologisnya (Anonim, 2003).
Penggunaan formalin harus hati-hati karena konsentrasi yang tinggi dapat membahayakan lingkungan, hewan, dan manusia (Fitzpatrick et al., 1995). Menurut Floyd (1996), penggunaan formalin yang aman untuk manusia dan ikan adalah:
1.    formalin disimpan di daerah yang terlindung panas dan dingin,
2.    jika temperatur air lebih dari 21 °C, maka konsentrasi formalin dikurangi karena toksisitasnya meningkat pada air dengan suhu tinggi,
3.    konsentrasi formalin tidak melebihi 10 mg/L jika digunakan untuk pencegahan parasit pada ikan yang dikonsumsi seperti ikan bandeng, lele, gurami, dan nila.
Penelitian ini mencoba menggunakan formalin dengan berbagai konsentrasi untuk pengendalian saprolegniasis pada telur ikan nila merah (Oreochromis sp.).
          Pada konsentrasi formalin 1,5 ml/L mulai terjadi penurunan berat kering, sedangkan pada konsentrasi 2 ml/L terjadi penurunan berat kering cukup besar Pada konsentrasi formalin 0,5–1,5 ml/L tidak ada hambatan pada pertumbuhan kapang Saprolegnia sp., sedangkan pada konsentrasi 2 ml/L mulai ada zona hambatan. Saprolegnia sp.  hanya tumbuh di media yang mengandung formalin 3 ml/L ppm, masa inkubasi 5 menit. Sebagai kontrol positif pertumbuhan kapang adalah konsentrasi fenol 0. Pada konsentrasi formalin 0, 4, 5, dan 6 ml/L dengan lama perendaman 5, 10, dan 15 menit tidak ada telur yang lisis dan mati.
          Penghambatan pada pertumbuhan Saprolegnia sp. ditunjukkan dengan adanya penurunan berat kering semakin tinggi konsentrasi formalin semakin rendah berat kering dari Saprolegnia sp. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya hambat formalin terhadap pertumbuhan Saprolegnia sp. semakin besar. Pada konsentrasi 1,5 ml/L mulai terjadi penurunan berat kering, sedangkan pada konsentrasi 2 ml/L terjadi penurunan berat kering cukup besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut telah terjadi penghambatan pertumbuhan dari kapang Saprolegnia sp. Oleh karena itu, nilai MIC dapat ditentukan pada konsentrasi 2 ml/L.
          pada konsentrasi formalin 0,5–1,5 ml/L pertumbuhan Saprolegnia sp. pada kultur hampir tidak dapat dihambat. Sedangkan pada konsentrasi 2 ml/L terdapat zona hambatan sebesar 0,36 mm. Oleh karena itu, nilai MIC ditentukan pada konsentrasi 2 ml/L. semakin tinggi konsentrasi formalin semakin tinggi pul rerata jumlah telur ikan nila yang tidak terinfeks Saprolegnia sp. Pada kelompok kontrol, semua telu terinfeksi Saprolegnia sp. Pada perendaman formalin 4 m L, rerata jumlah telur yang tidak terinfeksi kapang sebesa 82%. Pada perendaman formalin 4 ml/L, rerata jumlah telur yang tidak  terinfeksi 92%. Sedangkan pada perendama formalin 6 ml/L, rerata jumlah telur yang tidak terinfeks 96%.
          Hal tersebut menunjukkan bahwa perendaman telur dalam larutan formalin berpengaruh terhadap pengendalian saprolegniasis pada telur ikan nila merah (Oreochromis sp.) dan perbedaan konsentrasi formalin juga berpengaruh pada jumlah telur ikan nila yang tidak terinfeksi kapang. Penelitian ini memperkuat pendapat Anonim (2003) bahwa formalin dapat digunakan untuk pengobatan saprolegniasis karena formalin merupakan zat kimia yang bersifat toksik dan memiliki kelarutan yang tinggi dalam air. Formalin mudah masuk dalam sel atau jaringan secara osmosis.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1.  formalin dapat digunakan untuk pengendalian saprolegniasis,
2.  konsentrasi formalin yang efektif dan aman untuk pengendalian saprolegniasis adalah 4 ml/L.







 DAFTAR PUSTAKA
Wahyuningsih, Sri P. A. 2006. Penggunaan Formalin Untuk
          Pengendalian Sapprolegniasis pada Telur Ikan Nila Merah
          (Oreochromis sp.)[Jurnal]. Univ. Airlangga. Surabaya.

Rahmaningsih, Sri. 2011. Jamur Saprolegnia sp. Penyebab Penyakit
          pada Ikan. [blogspot].