Sabtu, 27 Juli 2013

Kepiting Soka



Ringkasan


Kepiting bakau cangkang lunak (soka) adalah kepiting bakau fase ganti kulit (moulting) atau kepiting lemburi. Kepiting dalam fase ini mempunyai keunggulan yaitu mempunyai cangkang yang lunak (soft shell mud crab) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh.Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan ini adalah untuk mengetahui Teknik produksi kepiting soka di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang. Praktek kerja lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 28 januari sampai 24 februari 2013.
          Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini dilaksanakan dengan menggunakan metode observasi. Pengumpulan data primer di peroleh dari rangkaian kegiatan dilapangan mulai dari kegiatan seleksi benih, pemotongan capit dan kaki jalan, penebaran, pemeliharaan dan pemberian pakan sampai dengan panen dan penanganan pascapanen,  dan data sekunder. Data yang diukur yaitu data pertumbuhan, kelulushidupan (SR), FCR dan data kualitas air.   Materi yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah kepiting bakau (Scylla seratta) yang dilakukan pemotongan capit dan kaki jalan untuk mempercepat proses molting dan dijadikan kepiting soka.
   Hasil yang didapatkan dari Praktek Kerja Lapangan (PKL) di BLUPPB Karawang adalah teknik produksi kepiting soka menggunakan metode cutting (pemotongan capit dan kaki jalan). Laju pertumbuhan mencapai 0,333%. Pakan yang digunakan dalam proses budidaya kepiting soka secara keseluruhan menggunakan ikan rucah dengan cara at satiation, banyaknya ikan rucah yang diberikan selama masa pemeliharaan adalah 21,318 kg. FCR 1: 0,70. SR 66,3 % dari total benih yang ditebar.
 
 
Kata kunci : kepiting bakau, Metode Cutting, Budidaya kepiting soka.
 

Kamis, 06 Juni 2013

Penggunaan Berapa Jenis Pakan Dalam Mendukung Pertumbuhan, Molting dan Penggemukan pada Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kepiting bakau (Scylla serrata Forsskal) merupakan salah satu sumberdaya perikanan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan. Jenis kepiting ini telah dikenal baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan, M. R., 2002). Daging kepiting bakau mengandung 47.5% protein dan 11.20% lemak (Karim, M. Y., 2005).
Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya kepiting bakau adalah ketersediaan benih. Selama ini kebutuhan benih kepiting masih sangat bergantung kepada hasil penangkapan di alam sehingga kesinambungan produksi dari usaha budidayanya sulit dipertahankan sepanjang tahun. Dengan kondisi demikian, maka salah satu cara untuk mengatasi masalah penyediaan benih adalah memproduksi benih secara massal melalui usaha pembenihan.
Masalah utama yang dihadapi pada usaha pembenihan kepiting bakau dewasa ini adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup dan ketahanan stres pada stadia larva terutama pada stadia zoea dan megalopa. Salah satu penyebab adalah rendahnya mutu pakan yang diberikan (Yunus, K. Suwirya, Kasprijo, dan I. Setyadi, 1996). Oleh sebab itu, perlu disiapkan pakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan larva yakni pakan alami yang berkualitas. Salah satu jenis pakan alami yang umum digunakan pada panti pembenihan adalah Artemia (Whyte, J.N.C., W.C. Clarke, N.G. Ginther, J.O.T. Jensen and L.D. Townsend, 1994), karena mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik (Watanabe, T. and V. Kiron, 1994). Namun dari hasil analisis gizi menunjukkan bahwa Artemia memiliki kandungan asam lemak w-3 HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) yang sangat rendah, terutama asam eicosapentaenoic (EPA, 20:5w-3) dan docosahexaenoic (DHA, 22:6w-3) (Takeuchi, T., M. Toyota, and T. Watanabe, 1992). EPA dan DHA bersifat esensial yang secara fisiologis merupakan sumber energi penting dalam menunjang pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan ketahanan stres krustase (D’Abramo, L. R. and  S. S. Sheen, 1993). Asam lemak tersebut bersifat esensial sehingga harus diperoleh dari luar tubuh (Millamena, O.M. and E. T. Quinito, 1985).  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis larva kepiting bakau yang diberi nauplius Artemia hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA meliputi kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres pada stadia megalopa higga crablet. Hasil percobaan ini diharapkan menjadi salah satu bahan infomasi  bagi usaha pembenihan kepiting bakau.
Penelitian mengenai Respon Fisiologis Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata) Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak w-3 Hufa  ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis kepiting bakau yang diberi nauplius Artemia hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA meliputi tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres dari stadia  megalopa sampai crablet. Penelitian dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah. Larva diberi pakan nauplius Artemia hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA berupa emulsi ICES pada empat tingkatan (0.0; 0.3; 0.6 and 0.9 g emulsi ICES/L). Hasil analisis asam lemak w-3 HUFA nauplius Artemia setelah diperkaya dengan emulsi ICES disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Konsentrasi asam lemak w-3 HUFA naupliu Artemia yang diperkaya
  dengan emulsi ICES
Dosis Pengkayaan  (g/L)
Konsentrasi Asam Lemak w-3 HUFA
Nauplius Artemia (g/100g)
C20 : 5w-3 (EPA)
C22 : 6w-3 (DHA)
0.0
3.62 ±  0.04d
0.99 ± 0.03d
0.3
15.34 ± 0.03c
1.55 ± 0.04c
0.6
21.88 ± 0.03b
6.07 ± 0.02b
0.9
25.05 ± 0.02a
9.23 ± 0.03a
Keterangan :  Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda
         antara  perlakuan pada taraf  5% (p < 0,05).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nauplius Artemia yang diperkaya dengan asam lemak w-3 HUFA secara nyata (p<0.05) meningkatkan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting bakau dari stadia megalopa sampai crablet dan  dosis terbaik adalah 0.6 g emulsi ICES/L. Tingginya kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting pada dosis pengkayaan 0.6 g/L disebabkan kandungan asam lemak w-3 HUFA (EPA dan DHA) nauplius Artemia yang dikonsumsi larva kepiting pada dosis tersebut optimal untuk mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Dengan demikian, tersedia energi yang cukup bagi larva kepiting untuk memenuhi kebutuhan dasar, pemeliharaan membran sel- sel tubuh, aktivitas enzim pada sel berjalan normal, dan proses-proses metabolisme berjalan lancar sehingga larva dapat mempertahankan kelangsungan hidup, memanfaatkan energi untuk tumbuh dan mempunyai ketahanan melawan stres.
Rendahnya kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting pada perlakuan pengkayaan 0.0 g/L (kontrol) disebabkan kandungan rendahnya kandungan EPA dan DHA nauplius Artemia sehingga tidak memenuhi kebutuhan nutrisi larva. Selanjutnya peningkatan dosis pengkayaan menjadi 0.9 g/L menurunkan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres kepiting uji. Hal ini diduga kandungan asam lemak w-3 HUFA nauplius Artemia yang dikonsumsi larva kepiting sudah melebihi kebutuhannya.
EPA dan DHA merupakan asam lemak esensial yang secara fisiologis berperan penting dalam menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan normal. Asam lemak esensial mempunyai peranan fisiologis penting yaitu sebagai molekul sumber energi dan komponen fosfolipid yang berperanan penting dalam memepertahankan fleksibilitas dan permeabilitas membran biologik sel, Kelebihan dan kekurangan asam lemak asam lemak w-3 HUFA akan memberikan dampak yang sama terhadap larva kepiting yakni kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres kepiting menjadi rendah. Kelebihan dan kekurangan asam lemak w-3 menyebabkan membran sel tidak berfungsi, aktivitas enzim pada sel terhambat sehingga metabolisme terganggu dan laju pertumbuhan menjadi rendah (Karim, 2006).
Kepiting lunak (Soft shell crab) adalah salah satu makanan laut (Sea food) di dunia yang terkenal karena kelezatannya.  Kepiting ini bukanlah spesies baru, melainkan kepiting bakau (Scylla spp.) yang dipanen sesaat setelah mereka molting (melepaskan kulitnya yang keras).  Komoditas ini diekspor ke Amerika, Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa.
Indonesia dikenal sebagai negara bahari  dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 5.7 juta kilometer persegi atau 75% dari total wilayah Indonesia.  Wilayah laut tersebut ditaburi lebih dari 17.499 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.791 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada.  Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak ± 1.2 juta Ha.  
Sumberdaya alam yang melimpah tidak serta merta membuat kegiatan budidaya kepiting cangkang lunak di Indonesia menjadi mudah.  Ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas budidaya kepiting cangkang lunak, antara lain musim, siklus bulan, pasang surut, dan kualitas air.  Terjadi interaksi yang saling menguatkan dan atau saling melemahkan diantara berbagai faktor tersebut.  Kualitas air dipengaruhi oleh musim dan pasang surut selanjutnya pasang surut dipengaruhi oleh musim dan siklus bulan.  Dimusim-musim tertentu produktivitas menurun dan dimusim lain produkstivitas meningkat.
Fluktuasi produksi kepiting cangkang lunak pada skala komersil secara dinamik terjadi sepanjang tahun. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Tujuan penelitian mengenai Pengaruh Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan Pasang Surut Terhadap Molting Dan Produksi Kepiting Cangkang Lunsk (Soft Shell Crab) Di tambak Komersil ini adalah untuk mengamati dan mengkaji pengaruh kualitas air,antara lain: suhu, salinitas,ph, oksigen, dan amoniak serta siklus bulan, dan pasang surut terhadap molting dan produksi kepiting cangkang lunak di tambak komersil Ady Crab Kabupaten barru Sulawesi selatan.  Hasil pengamatan menunjukkan bahwa salinitas lebih besar dari 30 ppt menyebabkan aktivitas molting menurun. Pengaruh negative salinitas yang tinggi semakin buruk dengan meningkatnya suhu. Bulan purnama dan bulan mati yang terkait dengan pasang tinggi juga berpengaruh terhadap menurunnya aktivitas molting, sebaliknya pada saat pasang rendah aktivitas molting kepiting meningkat.  Informasi ini penting untuk mengontrol jalannya usaha dan menghindari kerugian yang mungkin terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan.
Perubahan musim mempengaruhi kualitas air tambak pemeliharaan kepiting
cangkang lunak (Tabel 2).  Kualitas air yang sangat dipengaruhi oleh musim adalah suhu dan salinitas.  Suhu dan salinitas tertinggi di dapatkan pada puncak musim kemarau yaitu sekitar bulan Agustus.
Tabel 2.  Data pengamatan kualitas air dalam tambak pemeliharan kepiting selama
   bulan April, Agustus, Desember 2011
Bulan
kualitas air
Suhu
Salinitas
pH
Do
Amoniak
April
26-33
25-33
7-8
1.15-7.07
0.013-0.024
Agustus
28-27
35-37
7-8
0.58-7.69
0.24-0.36
Desember
23-32
15-25
7-8
2.77-5.48
0.001-0.002

Ada dua musim di pantai barat Sulawesi Selatan, musim kemarau dan musim hujan masing-masing selama periode waktu enam bulan.  Musim kemarau biasanya berlangsung antara Mei hingga Oktober. Sedangkan Musim hujan antara Nopember hingga April. Bulan Agustus adalah puncak musim kemarau dan Desember adalah puncak musim hujan.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa salinitas lebih besar dari 30 ppt menyebabkan aktivitas molting menurun.  Pengaruh negative salinitas yang tinggi semakin buruk dengan meningkatnya suhu karena dapat mempengaruhi kelarutan amoniak toksik dan lebih buruk lagi ketika pergantian air tidak dapat dilakukan akibat pasang rendah. Siklus bulan berpengaruh terhadap aktivitas molting. Bulan purnama dan bulan mati yang terkait dengan pasang tinggi berpengaruh terhadap menurunnya aktivitas molting, sebaliknya pada saat bulan setengah yang terkait dengan pasang rendah rendah atau pasang perbani aktivitas molting kepiting meningkat. Belum jelas apakah gaya gravitasi bulan, atau intensitas cahaya bulan, atau pasang surut yang ditimbulkan oleh siklus bulan  yang memengaruhi pelepasan hormone molting pada kepiting.  Masih perlu penelitian lebih lanjut.
Pengggunaan ikan rucah (trash fish atau fish bycatch) atau makanan segar dan segar-beku lainnya yang belum mengalami proses untuk makanan kepitng telah banyak dilaporkan dan umumnya digunakan pada budidaya kepitng ditambak. Namun, penggunaan ikan rucah dihadapkan pada masalah yang membutuhkan penyimpanan khusus. Untuk itu, pakan formula dengan kandungan bahan yang sesuai dapat menjadi sebuah alternatif. How-Cheong et al. (1992) meneliti bahwa pakan telah dapat diterima dengan baik oleh kepiting bakau. Marasigan (1999), dalam Trino et al.(2001), juga melaporkan bahwa laju pertumbuhan spesifik (SGR) dari beberapa jenis kepiting bakau yang diberi pakan berupa pelet udang dapat menyamai pemberian pakan berupa pakan yang belum diproses (unprocessed feed). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Kuntiyo (1992) dalam Trino et al. (1999). Untuk itu penelitinan mengenai Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak Dengan Pemberian Pakan Berbeda dilakukan untuk melihat kelayakan pembesaran kepiting bakau ditambak dengan menguji penggunaan beberapa jenis pakan untuk mendapatkan jenis yang baik dan dapat memacu pertumbuhan kepiting bakau selama masa pembesaran dimana pembesaran kpeiting bakau ditambak dengan menggunakan 3 perlakuan pakan yakniberupa pelet udang (A), ikan rucah (B), dan gabungan pakan keduanya (C). Erhadap benih kepiting krablet-30 (C-30) dengan bobot rata-rata 0,66g/ekor ditebar dengan kepadatan 200 ekor/petak dan dipelihara selama 3 bulan. Pakan diberikan 2 kali sehari selama penelitian.
Berikut merupakan komposisi nuttrisi pakan pelet udang dan ikan rucah yang digunakan selama penelitian.
Tabel 3. Komposisi proksimat (%) pakan (pelet) ikan rucah penelitian
Komposisi (%)
Pelet udang
Ikan rucah
Protein
27,43
26,31
Lemak
6,53
3,43
Serat fiber
1,45
0,6
Debu
7,79
-
Kelembaban
-
62,36
Lainnya
56,8
7,3
Total
100
100
  Sumber : Tahe (2008); Sulaeman et al. (1993)

Hasil menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang nyata perlakuan terhadap pertumbuhan, baik pertumbuhan bobot, panajang, maupun lebar karapas (p<0,5) namun berpengaruh tidak nyata terhadap siintasan kepiting bakau. Berdasarkan presentase, kepiting yang mampu mencapai bobot ≥75 g (80g) yakni 56%-90%. Dari pencapaian bobot ini, perlakuan pembarian pelet berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya dan perlakuan pemberian ikan rucah dan pemberian pakan gabungan pelet dan rucah berbeda tidak nyata dan lebih tinggi dibandingan pembeian pelet. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian pakan berupa ikan rucah atau campuran antara iakan rucah dan pelet membeikan pertumbuhan bobot yang lebih baik dibanding dengan pelet saja.
Berkembangnya usaha budidaya kepiting, baik kepiting cangkang keras maupun cangkang lunak menuntut inovasi teknologi yang sifatnya aplikatif, sehingga dapat mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam usaha pembudidayaannya. Salah satu terobosan penting yang telah dilakukan oleh Fujaya et al. (2007) adalah ditemukannya stimulan molting yang berasal dari ekstrak bayam. Penemuan ini sangat menjanjikan untuk teknologi produksi kepiting cangkang lunak (soft shell)  yang telah ada sebelumnya dengan cara mutilasi (Karim, 2007). Dijelaskan bahwa produksi soft shell  atau kepiting cangkang lunak dengan mutilasi atau induksi autotomi  dilakukan dengan pelepasan organ capit dan kaki jalan, kecuali kaki renang.  Fujaya  et al.  (2007) menyatakan bahwa proses produksi secara mutilasi dinilai tidak begitu layak dan efektif untuk diterapkan karena selain mortalitas yang sangat tinggi juga adanya penolakan oleh negara konsumen.
          Penggunaan ekstrak bayam yang diberikan dengan cara penyuntikan dirasakan kurang efisien dilakukan dalam skala besar (Fujaya  et al., 2008). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pakan buatan sebagai media aplikasi ekstrak bayam. Berdasarkan uji yang telah dilakukan terbukti bahwa ekstrak bayam dapat diberikan melalui pakan buatan, dan efektif mempercepat molting dan meningkatkan pertumbuhan (Fujaya  et al., 2009).
          Perlakuan yang diuji adalah empat pakan buatan berbentuk pellet dengan berbagai kadar protein dan karbohidrat.  Keempat pakan tersebut diformulasi  dengan substitusi   limbah pangan.  Pakan kontrol yang digunakan dengan kadar protein dan karbohidrat pakan 47,2% dan 34,4% diformulasi dengan substitusi bahan baku non limbah (Aslamyah & Fujaya, 2009).  Masing masing pakan uji dan kontrol diperkaya ekstrak bayam dengan dosis 700 ng/g kepiting (Fujaya  et al., 2009).  Ekstrak bayam dilarutkan dengan etanol 80% dengan perbandingan 1:1 kemudian dihomogenkan. Larutan ditambah etanol
            Persentase molting tertinggi diperlihatkan kepiting uji pada perlakuan pakan D (30,62% P; 49,13% K) 100%, diikuti perlakuan pakan C (35,62% P; 44,32% K) 66,67%, perlakuan pakan B (41,57% P; 38,29% K) 53,33%, dan perlakuan pakan A (46,84% P; 33,33% K) dengan persentase molting terendah, yaitu 46,67%.  Respon molting kepiting bakau yang berbeda pada berbagai jenis pakan buatan berekstrak bayam  terjadi karena perbedaan komposisi bahan baku yang digunakan dalam formulasi pakan yang berakibat pada perbedaan dalam kadar nutrien pakan. Kepiting  membutuhkan pakan untuk mempertahankan eksistensi hidup serta pertumbuhan, dan akan bertumbuh dengan baik jika pakan yang tersedia mengandung semua unsur-unsur nutrien yang dibutuhkan dalam kadar yang optimal. Menurut Gutierrez-Yurrita & Montes (2001),  komposisi nutrien pakan essensial akan menentukan pertumbuhan dan efisiensi pakan organisme.
Pakan dengan kadar protein 30,62% dan karbohidrat 49,13% yang diperkaya ekstrak bayam dengan dosis 700 ng/g kepiting merupakan pakan terbaik dalam menginduksi molting kepiting bakau.hal ini merupakan respon positif  dari ekstrak bayam. Ekstrak bayam adalah stimulan molting yang mengandung hormon molting (fitoekdisteroid).  Hasil penelitian Fujaya et al. (2007), menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak bayam pada kepiting dapat mempercepat dan menyerentakkan molting, tidak menyebabkan kematian, pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi ekstrak bayam lebih besar dibandingkan tanpa aplikasi ekstrak bayam. Pakan buatan yang digunakan  sebaiknya mempunyai kadar nutrien yang seimbang dan merupakan campuran berbagai bahan baku pakan agar kandungan nutriennya saling melengkapi (Aslamsyah, 2010).
Selain usaha budidaya kepitng cangkang lunak (Soft crab), salah satu jenis usaha budidaya kepiting yakni usaha pengemukan kepiting bakau (Scylla sp.) dalam usaha budidaya penggemukan kepitng bakau pada umumnya petani tambak melakukan usaha penggemukan secara tradisional, yakni dengan cara tebar langsung pada tambak secara massal. Sealin faktor kualitas air, pakan, dan kanibalisme masalah lain yang dihadapi para petambak kepiting adalah kurangnya informasi tentang padat tebar yang baik untuk membudidayakan penggemukan kepiting bakau tersebut.
Berdasarkan studi dan observasi lapangan, selama ini masyarakat dalam usaha penggemukan menggunakan padat tebar 1 ekor/m2. Hal ini didukung pendapat Rida’s (2008), yang menyatakan bahwa usaha budidaya pembesaran kepitng bakau yang baik adalah 1 ekor/m2. Karena kepiring muda akan tumbuh menjadi besar, selain proses molting yang dialami menyebabkan tingkat kanibalisme menjadi lebih tinggi. Mengingat pada usaha penggemukan kepiting bakau ini tidak mengalami proses molting makan pertumbuhan panjang dan lebar tidak terjadi. Oleh karana itu dibutuhkan penelitian menganai budidaya Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Pada Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla sp). pada penelitian tersebut ada 4 perlakuan dan 3 kali pengulangan dimana rinciannya sebagai berikut A = padat tebar 1 ekor/m2, B = 2 ekor/m2, C = 3 ekor/m2, D = 4 ekor/m2.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Hanting (1969) dalam Affandi dan Tang (2002), anatara lain waktu, densitas, berat awal, jumlah makanan, kualitas makanan, metode peemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, penyakit, padat tebar, genetik dan kualitas air. Sedangakan Effendi (1997), menyatakan pertumbuhan merupakan salah satu parameter dalam budidaya, pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Sifat gengetik spesies dari kultivan, jenis kelamin dan status fisiologi organisme merupakan faktor internal sedangkan faktor eksternala antara lain faktor lingkungan, padat [penebaran, pakan, suhu, oksigen terlarut, pH, kekeruhan, bahan organik, hama seta penyakit.
            Setelah melakukan pengamatan, analisis dan pembahasan terhadap data yang diperoleh selama penelitian makan dihasilkan suatu kesimpulan yaitu ; hasil analisa sidik ragam menunjukan bahwa pada setiap perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata pertumbuhan berat mutlak kepiting. Nilai rata-rata berat mutlak yang tertinggi pada perlakuan D yaitu sebesar 43,8 g dan yang terendah pada perlakuan B yaitu sebear 25 g. Sedangakn untuk tingkat kelulushidupan atau kelangsunga hidup pada setiap perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Perlakuan A memeilki tingkat kelangsungan hidup tertingi mencapai 100% dari perlakuan B tingkat kelangsungan hidupnya rendah yaitu 50% (Azis, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Azis., Heppi I., M. Fadnan. 2010. Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Pada Penggemukan Kepiting
Bakau (Scylla sp). [jurnal]. FPIK Univ. Borneo Tarakan.

Herlinah., dkk. 2010. Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Tambak
Dengan Pemberian Pakan Yang Berbeda. [jurnal]. Balai Riset Periknan
Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan.

Karim, M. Yusri. 2006. Respon Fisiologis Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak
w-3 Hufa. [jurnal]. FPIK Univ. Hasanuddin. Makasar.

Aslamsyah, Siti,. Yushita F. 2010. Stimulasi Molting Pertumbuhan Kepiting
bakau (Scylla sp.) Melalui Aplikasi Pakn Buatan Berbahan Dasar Limbah
Pangan Yang Diperkaya Dengan Ekstrak Bayam. [jurnal]. FPIK Univ.
Haasanuddin. Sulawesi Selatan.

Yushita Fujaya., Nur Alam. Pengaruh Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan Pasang
Surut Terhadap Molting Dan Produksi Kepiting Cangkang Lunsk (Soft
Shell Crab) Di tambak Komersil. [jurnal]. FPIK Univ. Haasanuddin.

            Sulawesi Selatan. Indonesia.

Sabtu, 11 Mei 2013


Kerang Mutiara (Pinctada maxima)

Indonesia sebagai salah satu produsen mutiara dunia patut dibanggakan, terutama karena  mutiara yang diproduksi merupakan jenis south sea pearl. Mutiara jenis ini hanya dihasilkan dari kerang jenis Pinctada maxima dan merupakan jenis mutiara termahal di dunia (Sujoko, 2010). Jenis kerang penghasil mutiara antara lain Pinctada margaritifera, P. maxima, P. fucata, Pteria sternia, dan Pteria penguin. Adapun yang dikembangkan di Indonesia adalah  P. maxima, P. margaritifera, dan  P. penguin  (Sutaman, 1993; Winanto, 2004).
Berkembangnya budidaya mutiara ternyata menjadi pemicu meningkatnya permintaan spat dan kerang mutiara siap operasi. Namun spat yang berasal dari alam jumlahnya terbatas, sangat fluktuatif dan dipengaruhi musim (Winanto, 1996). Produksi melalui hacthery merupakan pendekatan yang paling memungkinkan dalam penyediaan spat (Rupp et al., 2005). Pada mulanya, teknologi pembenihan kerang mutiara terkesan “rahasia” karena hanya dikuasai oleh teknisi- teknisi asing yang kebanyakan dari Jepang bekerja di hatchery (tempat pembenihan). Kerang mutiara juga masih terbatas pada perusahaan besar yang kebanyakan PMA (Penanam Modal Asing). Menjelang tahun 2000, berkembanglah hatchery yang dimiliki oleh pengusaha lokal dan dikerjakan oleh tenaga domestik akan tetapi berbagai teknologi pembenihan hatchery masih belum dikuasai perusahaan lokal (Sujoko, 2010).
Pengembangan perikanan budidaya dalam rangka pembangunan kelautan dan perikanan dilakukan untuk mewujudkan visi Menteri Kelautan dan Perikanan yaitu menjadikan Indonesia sebagai produsen kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan perikananan budidaya diimplementasikan dalam bentuk program peningkatan produksi perikanan budidaya (Sujoko, 2010).
Klasifikasi Tiram mutiara termasuk sebagai hewan lunak, yaitu hewan yang dalam biologi dimasukkan ke dalam pilum Mollusca, dimana pilum tersebut terbagi atas enam kelas yaitu: (1) Monoplacophora; (2) Amphineura; (3) Gastropoda; (4) Lamellibranchiata atau Pellecypoda; (5) Scaphopoda; (6) Cephalopoda. Tiram mutiara dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom  Invertebrata, pilum  Mollusca, klas  Pellecypoda, ordo  Anysomyaria, famili  Pteridae, genus  Pinctada, spesies  Pinctada sp. dan Pteria sp.
Menurut direktorat jendral perikanan et.al (2001), ciri-ciri dari Pinctada maxima adalah sebagai berikut, ukuran dewasa penuh 12 inchi, rata-rata 8 inchi, bentuk cangkang rata warna luar cangkang coklat kuning, dan warna garis cangkang pucat hanya suatu jejak, nacre berwarna putih perak, pinggiran berwarna kuning emas, garis engsel sedang, berat 9-10 cangkang tiap kan.
Tubuh tiram mutiara terdiri atas tiga bagian yaitu: kaki, mantel dan kumpulan organ bagian dalam. Kaki merupakan salah satu bagian tubuh yang bersifat elastis, terdiri atas susunan jaringan otot yang dapat meregang. Tiram mutiara termasuk monomary, yaitu hewan yang memiliki otot tunggal yang berfungsi untuk membuka dan menutup cangkang. Seperti pada semua molusca cangkang tiram mutiara dibentuk oleh mantel dengan cara mengeluarkan sel-sel yang dapat membentuk struktur cangkang dengan corak warna yang berbeda beda tergantung pada faktor lingkungan dan genetik. Mantel membungkus organ bagian dalam dan memisahkan dengan bagian cangkang, selain itu juga berfungsi untuk menyeleksi unsur-unsur yang terhisap ke dalam tebuh dan jika dalam tubuhnya terdapat kotoran maka mantel akan menyemburkan kotoran itu keluar. Bagian mantel tersusun dari berkas jaringan sel yang berbentuk kolom-kolom yang homogen. Bentuk jaringan sel bagian ujung mantel dan bagian tengah sama dengan bagian dalam. Pinctada maxima hidup pada kedalaman 5 - 40 meter, dengan salinitas kurang lebih 30 ppt, suhu 29 - 31 derajat Celsius. Kecerahan 4,5 - 7,5 meter.
Mutiara peliharaan diproduksi dengan memasukkan butiran manik-manik yang terbuat dari kulit cangkang tiram mutiara pada bagian dari lapisan induk mutiara ke dalam lapisan mantel yang mengeluarkan lapisan mutiara. Tiram memperlakukan manik-manik tersebut sebagai penyakit dan menyelimutinya dengan lapisan nacre. Jadi perbedaan dasar mutiara alam dan peliharaan adalah partikel dan ukurannya, yang masuk dalam tubuh tiram secara alami dan dibuat oleh manusia serta cara terjadinya. Mutara blister di produksi dengan memasukkan separoh manik-manik, ditempelkan didinding cangkang bagian dalam. Setelah lapisan nacre menyelimuti manik-manik, bentuk yang terjadi tersebut dan lapisan nacre lainnya yang telah dibentuk melengkung, ditempelkan ke bagian datar dari manik-manik. Hasilnya juga disebut sebagai mutiara 'mabe'.
Bentuk mutiara diklasifikasikan sebagai berikut: bentuk bundar, bentuk bulat, bentuk bulat telur, bentuk airmata, bentuk kancing baju, bentuk baroque (seluruh bentuk yang tidak biasa selain yang telah diberi nama tersebut diatas), bentuk gotri (bentuk baroque, tetapi dengan kilauan yang sedikit); bentuk tiga perempat (tiga-perempat bulat dengan satu permukaan datar), mutiara biji (bentuknya tidak simeteris dan sangat kecil), mutiara debu (terlalu kecil untuk digunakan sebagai batu permata) dan mutiara blister (bentuk mutiara yang menempel di cangkang).
Nilai dari sebutir mutiara didasarkan pada : warna, kilau, translusensi, tekstur, bentuk dan ukuran. Mutiara yang terbaik akan memiliki warna asli dari mutiara, overtone yang kuat dengan kemilau yang tinggi; semi- translusensi yang kuat, tidak retak, tergores, dan penyok atau cacat, bentuk bundar; ukurannya besar. Nilai dari sebutir mutiara yang dapat diperkirakan dengan menduga dengan suatu harga dasar dengan kuadrat dari beratnya, sehingga dengan suatu penambahan ukuran yang sedikit mempunyai pengaruh yang besar terhadap nilainya. Penilaian terhadap mutiara akan lebih kompleks daripada terhadap berlian. Mutiara yang besar lebih jarang ada di banding dengan berlian yang besar. Hanya dengan latihan dan pengalaman yang luas dan banyak, seseorang akan dapat melihat kualitas mutiara dengan baik. (Direktorat jendral perikanan, 2001).









DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Perikanan dan Pertanian.2001.Tentang Budidaya Perikanan. Jakarta.

Rupp G. S., Parsons, G. J., Thompson, R. J., & de Bem, M. M., 2005. Influence of Environmental Factors, Season and Size at Development on Growth and Retieval of Postlarval Lion’s Paw Scallop Nodipecten nodusus (Linnaeus, 1758) From A Subtropical Environment. Aquaculture 243: 195-216.

Sujoko, A. 2010. Membenihkan Kerang Mutiara. Insan Madani. Yogyakarta.

Sutaman. 1993. Tiram Mutiara Teknik Budidaya dan Proses Pembuatan Mutiara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 128 hlm. 

Winanto, T. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. Penebar Swadaya, Jakarta.  95 hlm.

Rabu, 01 Mei 2013

tugas MTLB

IDENTIFIKASI BUDIDAYA IKAN MAS DAN NILA DALAM KERAMBA JARING APUNG GANDA SECARA INTENSIF DI DANAU TONDANO

I.    PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Ekosistem Danau mempunyai peranan yang penting sebagai penyimpan  kekayaan plasma nutfath, penyedia air minum, air untuk pertanian, pembangkit listrik, budidaya perikanan, pariwisata dan lain-lain. Saat ini, konversi lahan dan polusi yang terjadi di DAS mengakibatkan penurunan kualitas danau, seperti: pendangkalan dan penurunan kualitas air danau. Pemerintah telah menetapkan program nasional penyelamatan danau  2010-2014, dimana terdapat 15 danau prioritas yang perlu dipulihkan.
          Danau Tondano adalah danau yang terletak didaerah kabupaten Minahasa Induk dan merupakan danau terluas diprovinsi Sulawesi Utara. Dengan luas 5600 Ha dan terletak diatas ketinggian 650 meter diatas permukaan laut (KLH 2008). Danau Tondano berada didaerah tangkapan hujan (Catchement area). Danau Tondano yang dialiri oleh 26 sungai, 4 sungai diantaranya berukuran cukup besar sedangkan yang lainnya berukuran kecil. Bahkan beberapa diantaranya mengalami kekeringan dimusim kemarau yang panjang. Danau Tondano mendapatkan aliran air dari sungai-sungai dan saluran irigasi serta saluran pemukiman enduduk. Danau Tondano hanya memilki satu aliran air keluar danau (Out let) yang menuju sungai Tondano serta melewati kota Tondano dan bermuara di Teluk Manado (Manu,2008).
Danau Tondano adalah bagian hulu dari Sungai Tondano terletak di Kabupaten Minahasa dan merupakan Danau terbesar di Propinsi Sulawesi Utara. Dilihat dari 17 proses terbentuknya Danau Tondano memiliki 2 versi yaitu danau  yang terbentuk sebagal hasil letusan gunung api purba (danau creater) dan danau terjadi akibat terbendungnya sistem drainase sebagai akibat geantiklinal Minahasa yaitu munculnya dua gunung api Soputan dan Mahawu. Daerah tangkapan Danau Tondano sampai pada outlet titik pengamatan muka air di Tolour adalah sebesar 191,94 km2. Secara geografis DAS Danau Tondano terletak di antara 10o6'06"-01o20'25" LU (Lintang Utara) dan antara 124o45'04" - 124o58'20" BT (Bujur Timur) memanjang dari Selatan ke Utara.
Bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya makan ikan mengakibatkan permintaan terhadap ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Propinsi Sulawesi Utara ikan mas dan nila merupakan ikan budidaya yang banyak diproduksi karena merupakan ikan air tawar yang disukai konsumen.
I.        ISI

1.1.       Karakteristik Danau Tondano
          Danau Tondano mempunyai berbagai potensi, khususnya  potensi sumber daya perikanan darat  yang cukup besar. Produksi ikan dari Danau Tondano selama 2009 mencapai 1.234 ton atau mencapai 87 persen dari total produksi ikan air danau Sulut pada 2009 sebanyak 1.420,9 ton. Di sepanjang Daerah Aliran Sungai Tondano  terdapat banyak pembudidaya yang membudidayakan ikan mas dan ikan nila di dalam wadah karamba.
Menurut data yang tercatat pada Stasiun Geofisika Tondano arah angin banyak bertiup menuju arah Selatan pada bulan April sampai Oktober. Pada Bulan Januari sampal April arah angin terbanyak bertiup menuju arah Utara, sedangkan pada Bulan November dan Desember menuju arah Utara dan Barat. Kelembapan Udara relatif tinggi berkisar antara 84% s/d 93%, temperatur antara 19°C dan 27°C Sedangkan  evaporasi berkisar antara 1,0 mm s/d 4,6 mm. Kiasifikasi iklim menurut Oldelman, bulan basah (> 200 mm) diwilayah Tondano terjadi hanya pada satu bulan yaitu bulan Mei. Bulan transisi (100 s/d 200 mm) terjadi selama delapan bulan pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Juni, Juli, November dan Desember. Bulan kering (<100 mm) terjadi selama tiga bulan pada bulan Agustus, September dan Oktober. Curah hujan rata-rata bervariasi antara 1500 mm sampai dengan 2800 mm per tahun. 
Luas Danau Tondano bervariasi antara 44 km2 pada musim kemarau dan 48 km2 pada musim penghujan dengan keliling danau sebesar 35,5 km. Sungai-sungai yang masuk ke Danau Tondano sebanyak 35 buah dan sebagian besar sungai musiman. Sungai-sungai yang masih mengalir airnya pada musim kemarau adalah Sungai Panasen, Saluwangko, Kolsimega, Sendow dan Ranowelang. Danau inl diapit oleh Pegunungan Lembean, Gunung Kaweng, Bukit Tampusu, dan Gunung Masarang.


1.2.       Fungsi dan Manfaat Danau
Danau Tondano mempunyai fungsi sebagai sumber air pertanian, perikanan, PDAM dan PLTA. Untuk keperluan operasi PLTA jenis kaskade, dibutuhkan muka air danau minimal pada elevasi 681,156 m dpl atau 1,31 m di AWLR Tolour dengan debit sedikitnya 8,30 m3/det. Dengan duga muka air danau maksimal untuk PLTA pada debit rencana periode 10 tahun yang terjadi pada elevasi 682,83 m dpl atau 2,984 m di AWLR Tolour (Tolour tidak terkena banjir).
Danau ini juga dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan karamba dan jaring apung yang berjumlah kurang lebih 459 buah dengan luas 67.293 m2 dan Produksi ikan 9115,1 ton per tahun (sumber, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara), Pertanian/Irigasi ada sekitar 3000 Ha sawah yang merupakan pemasok padi untuk Kabupaten Minahasa, Peternakan unggas (itik di sekitar Danau Tondano), rumah makan tepi Danau, pertambangan galian golongan C, serta pariwisata.

1.3.       Topografi dan Tata Guna Lahan
          Keadaan topografi DAS tondano pada umumnya merupakan daerah pegunungan dan berbukit-bukit yang tersebar pada wilayah sungainya. Sebagian besar areal berada pada daerah administratif Kabupaten Minahasa, yaitu seluas 561,65 km2 dan hanya kurang lebih 30 km2 saja yang merupakan wilayah administratif Kota Manado atau hanya sekitar 5,3% saja. Gunung-gunung tersebut beberapa ada yang masih aktif dan berketinggian antara 1000 รข€“ 2000 meter di atas permukaan laut. Pada dataran pedalaman yang relatif sempit dengan aliran sungai yang besar dan kecil yang dalam membentuk lembah-lembah pada bagian-bagian tertentu, membentuk hutan-hutan pegunungan, danau-danau dengan flora dan fauna yang beraneka ragam.
Pola penggunaan lahan di wilayah studi di bagi menjadi dua kategori, yaitu lahan sawah dan lahan kering. Lahan sawah dapat ditanami dengan padi dan lahan basah, tambak atau rawa yang dapat ditanami ikan. Sedangkan lahan kering terdiri dari pemukiman, tegalan, perkebunan, hutan, fasilitas umum dan lain-lain. Persentase penggunaan lahan diantaranya kebun campuran (14,5 %), hutan (8,0 %) dan yang terbesar didominasi oleh perkebunan negara atau swasta (41,3 %). Sedangkan lahan pekarangan untuk areal terbangun hanya menyita 6,4 % saja dari luas keseluruhan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel berikut.


1.4.       Budidaya Ikan di Danau Tondano dan Permasalahannya
Danau ini juga dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan karamba dan jaring apung yang berjumlah kurang lebih 459 buah dengan luas 67.293 m2 dan Produksi ikan 9115,1 ton per tahun (sumber, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara), Pertanian/Irigasi ada sekitar 3000 Ha sawah yang merupakan pemasok padi untuk Kabupaten Minahasa, Peternakan unggas (itik di sekitar Danau Tondano), rumah makan tepi Danau, pertambangan galian golongan C, serta pariwisata.
Budidaya ikan dalam Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan salah satu teknologi budidaya yang handal dalam rangka optimasi pemanfaatan perairan danau dan waduk.  Usaha budidaya ikan mas dan nila dalam  Keramba Jaring Apung di Danau Tondano telah berkembang dengan pesat, namun perkembangannya tidak terkendali, dan dimana terlalu banyak menyita areal perairan danau. Keadaan ini berdampak negatif  terhadap lingkungan perairan yang pada gilirannya dapat menimbulkan konflik diantara pengguna perairan, serta kematian massal ikan akibat gas beracun (NH3 dan H2S) yang dihasilkan dari pembusukan (Mantau, 2009).
pembesaran ikan mas dan ikan nila pun berlangsung dengan cepat. Dimasa datang teknologi yang diperlukan  adalah teknologi Keramba Jaring Apung yang ramah lingkungan, teknologi efisien dan produktivitasnya tinggi serta dampak negatifnya diupayakan seminimal mungkin terhadap lingkungan perairan.  Salah satu teknologi budidaya Keramba Jaring Apung yang dianggap efisien dan produktivitasnya tinggi adalah teknologi budidaya ikan dalam Keramba Jaring Apung Ganda (Kartamihardja, 1997). Pada prinsipnya karena KJA Ganda ini lebih menghemat tempat/lokasi pemeliharaan dibanding KJA tunggal dan minimnya pakan ikan mas yang terbuang karena dimanfaatkan oleh ikan nila maka dapat dikatakan bahwa KJA Ganda ini lebih efisien dan lebih ramah lingkungan dibanding KJA tunggal. Demikian pula hasil ekskresi ikan mas dapat pula dimanfaatkan sebagai makanan oleh ikan nila sebab secara morfologis ikan nila bersifat omnivora cenderung herbivora (Suyanto, 1994; pengalaman pribadi).
Selama peoses budidaya ikan nila dan mas yang dilakukan didalam karamba jaring apung ganda secar intensif dalam 1 setiap siklus/ periode menggunakan pakan sebanyak 1ton. Dan dalam 1 tahun = 4 siklus/peride jadi banyaknya pakan yang digunakan adalah 4 ton pellet. Akumulasi sisa-sisa pakan yang tidak termanfaatkan oleh ikan. Permasalahan Danau tondano yang utama adalah sebagai berikut:
1.    Kerusakan Daerah Tangkapan Air (DTA) 
Degradasi daerah tangkapan air terjadi karena penebangan liar dan pembukaan lahan di hutan bagian hulu. 
2.    Kerusakan Sempadan
     Okupasi lahan oleh masyarakat sekitar menjadi lahan pertanian, pemukiman, ladang/perkebunan, sarana prasarana pariwisata dan lain sebagainya. 
3.    Pencemaran Perairan 
·      Keramba Jaring Apung (KJA) yang hingga tahun 2009 jumlahnya mencapai 2.849 Unit.
·      Peningkatan erosi dan sedimentasi, sehingga terjadi pendangkalan danau dengan tingkat sedimentasi rata-rata sebesar 0,4 m/th. Sedangkan tingkat erosi yang terjadi di bagian hulu berkisar pada 28,86 – 63,00 ton/ha/tahun (UNSRAT, 2000). Pendangkalan danau dalam kurun waktu 66 tahun semakin meningkat, dimana kedalaman semula sedalam 40 meter sampai dengan tahun 2000 kedalamannya hanya sebesar 14 meter.  Penurunan kualitas air Danau Tondano.
·      Terjadinya peningkatan volume sampah/tumbuhan air maupun limbah domestik yang masuk sebagai inlet dengan volume rata-rata 2-5 truck/hari. Disamping itu penurunan kualitas perairan pun disebabkan oleh tingginya kadar P (Phosphor) dan N (Nitrogen), limbah cair dan padat yang berasal dari pemukiman, sarana wisata (hotel dan restoran), pertanian, pakan ikan serta minyak dan oli dari perahu nelayan dan perahu transportasi. 
·      Penurunan tinggi permukaan air Danau Tondano.
·      Bencana banjir yang terjadi akibat dari pendangkalan danau dan kegiatan illegal logging pada kawasan DTA (hulu), sehingga ketika hujan datang akan terjadi penggerusan lahan/erosi lahan yang mengalir memasuki Danau Tondano.
·      Okupasi lahan oleh masyarakat sekitar menjadi lahan pertanian, pemukiman, ladang/perkebunan, serana prasarana pariwisata dan lain sebagainya. 
·      Eutrofikasi perairan Danau Tondano akibat dari pengkayaan unsur hara di perairan danau yaitu peningkatan kadar P dan N. Hal ini ditunjukkan dengan penyebaran enceng gondok pada permukaan air Danau Tondano yang mencapai luas 242,67 ha atau 5,20% dari luas danau.

1.5.       Kualitas Air Danau Tondano dan Pencemaran Perairan
Keramba Jaring Apung (KJA) yang hingga tahun 2009 jumlahnya mencapai 2.849 Unit. Peningkatan erosi dan sedimentasi, sehingga terjadi pendangkalan danau dengan tingkat sedimentasi rata-rata sebesar 0,4 m/th. Sedangkan tingkat erosi yang terjadi di bagian hulu berkisar pada 28,86 รข€“ 63,00 ton/ha/tahun (UNSRAT, 2000). Pendangkalan danau dalam kurun waktu 66 tahun semakin meningkat, dimana kedalaman semula sedalam 40 meter sampai dengan tahun 2000 kedalamannya hanya sebesar 14 meter. Berikut tersaji data pendangkalan pada Danau Tondano :
Tabel 3. Data Penurunan Kedalaman Danau Tondano
Tahun
Kedalaman (m)
1934
40
1974
28
1983
27
1987
20
1992
16
1996
15
2000
14

Penurunan kualitas air Danau Tondano.Terjadinya peningkatan volume sampah/tumbuhan air maupun limbah domestik yang masuk sebagai inlet dengan volume rata-rata 2-5 truck/hari. Disamping itu penurunan kualitas perairan pun disebabkan oleh tingginya kadar P (Phosphor) dan N (Nitrogen), limbah cair dan padat yang berasal dari pemukiman, sarana wisata (hotel dan restoran), pertanian, pakan ikan serta minyak dan oli dari perahu nelayan dan perahu transportasi.
Penurunan tinggi permukaan air Danau tondano.Bencana banjir yang terjadi akibat dari pendangkalan danau dan kegiatan illegal logging pada kawasan DTA (hulu), sehingga ketika hujan datang akan terjadi penggerusan lahan/erosi lahan yang mengalir memasuki Danau Tondano. Okupasi lahan oleh masyarakat sekitar menjadi lahan pertanian, pemukiman, ladang/perkebunan, serana prasarana pariwisata dan lain sebagainya. Eutrofikasi perairan Danau Tondano akibat dari pengkayaan unsur hara di perairan danau yaitu peningkatan kadar P dan N. Hal ini ditunjukkan dengan penyebaran enceng gondok pada permukaan air Danau Tondano yang mencapai luas 242,67 ha atau 5,20% dari luas danau.


1.6.   Perhitungan Kandungan Phospor
Salah satu teknologi budidaya Keramba Jaring Apung yang dianggap efisien dan produktivitasnya tinggi adalah teknologi budidaya ikan dalam Keramba Jaring Apung Ganda (Kartamihardja, 1997). Pada prinsipnya karena KJA Ganda ini lebih menghemat tempat/lokasi pemeliharaan dibanding KJA tunggal dan minimnya pakan ikan mas yang terbuang karena dimanfaatkan oleh ikan nila maka dapat dikatakan bahwa KJA Ganda ini lebih efisien dan lebih ramah lingkungan dibanding KJA tunggal. Demikian pula hasil ekskresi ikan mas dapat pula dimanfaatkan sebagai makanan oleh ikan nila sebab secara morfologis ikan nila bersifat omnivora cenderung herbivora (Suyanto, 1994; pengalaman pribadi).
Pengelolaan usaha budidaya yang kurang baik juga memberikan umpan balik yang merugikan terhadap operasional budidaya, seperti membatasi jumlah unit Karamba Jaring Apung (KJA) dan menurunnya produksi ikan.  Terlepas dari semuanya itu, masalah utama yang sering dihadapi petani KJA di Danau Tondano adalah masih terus meruginya usaha budidaya ikan mereka karena rendahnya produktivitas dan masalah kualitas air, dimana meningkatnya produksi gas-gas beracun (amoniak, H2S, dll) pada awal musim penghujan yang oleh masyarakat setempat disebut  aer busu. Selain itu masalah lainnya adalah pendangkalan Danau Tondano, sehingga penempatan KJA lama-kelamaan semakin ke tengah perairan. Pada dasarnya penempatan KJA harus pada kedalaman air minimal berkisar antara 2 - 3 m dan kedalaman optimal  5 - 7 m dengan kecerahan air  1 - 2 m (Mantau, et.al, 2004).
Masalah klasik yang umumnya ditemui pada danau-danau atau waduk-waduk tempat dikembangkannya budidaya ikan dalam jaring adalah masalah daya dukung perairan (carrying capacity). Demikian halnya yang terjadi di Danau Tondano, dimana terdapat sekitar 6000 unit KJA yang ditebari pakan ikan sekitar 1825 ton/tahun (Diskan Kab.Minahasa, 1996). Sangat jauh dari kondisi optimal jumlah KJA di Danau Tondano yang hanya berkisar 4000 – 5000 unit (Winowatan, 2002). Selain itu akumulasi timbunan bahan organik khususnya dari buangan sisa pakan dan kotoran ikan telah menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Hal ini berpengaruh langsung pada kualitas perairan danau. Hasil penelitian dari Unsrat Manado menemukan bahwa kadar ammoniak (NH3) dan sulfide (H2S) pada kedalaman 0 – 3 m adalah sebesar 0.08 mg/l dan 0.37 mg/l sedangkan pada bagian dasar perairan masing-masing sebesar 0.11 mg/l dan 0.56 mg/l. Padahal  standart mutu baku air danau untuk Golongan A (air minum) untuk kedua jenis senyawa tersebut adalah < 0.05 mg/l dan untuk Golongan C (usaha budidaya perikanan dan peternakan) adalah < 0.02 mg/l. 2  Sehingga jika tidak cepat diatasi maka lama-kelamaan Danau Tondano tidak layak lagi untuk diusahakan budidaya ikan dan airnya tidak boleh dijadikan air minum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka BPTP Sulut melakukan introduksi penggunaan KJA Ganda untuk budidaya ikan mas dan nila, dimana prinsipnya dengan penerapan konstruksi ini maka daya dukung danau dapat teroptimalkan, pencemaran air danau terminimalisasi, biaya operasional khususnya pakan ikan (pellet) dapat ditekan karena hanya ikan mas yang diberi makan, produksi ikan meningkat yang berpengaruh pada tingkat pendapatan petani Sehingga dari kegiatan proyek usaha budidaya Keramba Jaring Apung Ganda (KJA-G) ini diharapkan bukan saja layak diterapkan petani secara finansial maupun ekonomi, namun juga mendatangkan keuntungan dari aspek  lingkungan dimana akan mereduksi akumulasi bahan-bahan organik yang berasal dari sisa pellet dan kotoran ikan yang akan mengurangi kualitas air danau.

III.           PENUTUP

1.1.    Kesimpulan
1.     Selain layak secara finansial dan ekonomi maka secara teknis penggunaan Keramba Jaring Apung Ganda (KJA Ganda) untuk pembesaran ikan mas dan nila cocok diterapkan untuk meningkatkan pendapatan petani, mengoptimalkan pemanfaatan pakan sisa ikan mas oleh ikan nila sehingga polusi air yang ditimbulkan oleh akumulasi dekomposisi sisa pakan di dasar perairan dapat ditekan sekecil mungkin.
2.        Banyaknya jumlah pgosfor yang terkandung dalam perairan Danau Tondano dengan budidaya ikan nila dan mas dalam  karamba jaring apung ganda adalah 1,17 mg/m3.
3.        Dari aspek lingkungan membawa dampak positif bagi kualitas perairan danau
sehingga  kelangsungan usaha lebih terjamin.

1.2.    Saran
Dalam kegiatan budidaya ikan nila dan mas dalam karamba jaring apung ganda Perlu adanya regulasi yang permanen mengenai penggunaan KJA Ganda dalam usaha budidaya ikan mas dan nila di Danau Tondano, sehingga daya dukung (carrying capacity) danau bisa terjaga dalam kurun waktu yang lebih panjang.



Daftar Pustaka

Anonimus. 2009. Danau Tondano. Blogspot.

Kartamihardja, E. S. 1997. Pengembangan dan Pengelolaan Budidaya Ikan dalam
Keramba Jaring Tancap Ramah Lingkungan  di Perairan Waduk dan 
Danau Serbaguna.  Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II.
 
Mantau, Z. 2009. Analisis Kelayakan Investasi usaha Budidaya Ikan Mas Dan
Nila Dalam Karamba Jaring Apung Ganda Di Pesisir Danau Tondano

Manu, Gaspar. Dkk.2008. Studi Fitoplankton di Danau Tondano Propinsi
Sulawesi Utara. FPIK. UNSRAT.

Winowatan, A.F., 2002. Pengelolaan DAS Tondano Harus Terpadu dan Merdeka.
Manado Post edisi Jumat, 18 Agustus 2002.