Penggunaan
Berapa Jenis Pakan Dalam Mendukung Pertumbuhan, Molting dan Penggemukan pada Kepiting
Bakau (Scylla serrata)
Kepiting
bakau (Scylla serrata Forsskal) merupakan salah satu sumberdaya
perikanan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan. Jenis
kepiting ini telah dikenal baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri
karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi yakni mengandung
berbagai nutrien penting (Catacutan, M. R., 2002). Daging kepiting bakau
mengandung 47.5% protein dan 11.20% lemak (Karim, M. Y., 2005).
Salah satu faktor penentu
keberhasilan budidaya kepiting bakau adalah ketersediaan benih. Selama ini
kebutuhan benih kepiting masih sangat bergantung kepada hasil penangkapan di
alam sehingga kesinambungan produksi dari usaha budidayanya sulit dipertahankan
sepanjang tahun. Dengan kondisi demikian, maka salah satu cara untuk mengatasi
masalah penyediaan benih adalah memproduksi benih secara massal melalui usaha
pembenihan.
Masalah utama yang
dihadapi pada usaha pembenihan kepiting bakau dewasa ini adalah rendahnya
tingkat kelangsungan hidup dan ketahanan stres pada stadia larva terutama pada
stadia zoea dan megalopa. Salah satu penyebab adalah rendahnya mutu pakan yang
diberikan (Yunus, K. Suwirya, Kasprijo, dan I. Setyadi, 1996). Oleh sebab itu,
perlu disiapkan pakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan larva yakni
pakan alami yang berkualitas. Salah satu jenis pakan alami yang umum digunakan
pada panti pembenihan adalah Artemia (Whyte, J.N.C., W.C. Clarke, N.G. Ginther, J.O.T. Jensen and
L.D. Townsend, 1994), karena mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik
(Watanabe, T. and V. Kiron, 1994). Namun dari hasil analisis gizi
menunjukkan bahwa Artemia memiliki kandungan asam lemak w-3
HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) yang sangat rendah, terutama asam
eicosapentaenoic (EPA, 20:5w-3) dan docosahexaenoic (DHA, 22:6w-3)
(Takeuchi, T., M. Toyota, and T. Watanabe, 1992). EPA dan DHA bersifat esensial
yang secara fisiologis merupakan sumber energi penting dalam menunjang
pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan ketahanan stres krustase (D’Abramo, L. R.
and S. S. Sheen, 1993). Asam lemak tersebut bersifat esensial
sehingga harus diperoleh dari luar tubuh (Millamena, O.M. and E. T. Quinito,
1985). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
respon fisiologis larva kepiting bakau yang diberi nauplius Artemia
hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA meliputi
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres pada stadia megalopa
higga crablet. Hasil percobaan ini diharapkan menjadi salah satu bahan
infomasi bagi usaha pembenihan kepiting
bakau.
Penelitian mengenai Respon
Fisiologis Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata) Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil
Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak w-3 Hufa ini bertujuan untuk mengetahui respon
fisiologis kepiting bakau yang diberi nauplius Artemia hasil
bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA meliputi tingkat kelangsungan
hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres dari stadia megalopa sampai crablet. Penelitian
dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah. Larva diberi
pakan nauplius Artemia hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA
berupa emulsi ICES pada empat tingkatan (0.0; 0.3; 0.6 and 0.9 g emulsi
ICES/L). Hasil
analisis asam lemak w-3 HUFA nauplius Artemia
setelah diperkaya dengan emulsi ICES disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Konsentrasi asam lemak w-3 HUFA
naupliu
Artemia yang diperkaya
dengan emulsi ICES
Dosis
Pengkayaan (g/L)
|
Konsentrasi Asam Lemak w-3 HUFA
Nauplius Artemia (g/100g)
|
|
C20 : 5w-3
(EPA)
|
C22 : 6w-3
(DHA)
|
|
0.0
|
3.62 ±
0.04d
|
0.99 ± 0.03d
|
0.3
|
15.34 ± 0.03c
|
1.55 ± 0.04c
|
0.6
|
21.88 ± 0.03b
|
6.07 ± 0.02b
|
0.9
|
25.05 ± 0.02a
|
9.23 ± 0.03a
|
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda
antara perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05).
Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa nauplius Artemia yang diperkaya dengan asam lemak w-3 HUFA
secara nyata (p<0.05) meningkatkan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan
ketahanan stres larva kepiting bakau dari stadia megalopa sampai crablet
dan dosis terbaik adalah 0.6 g emulsi
ICES/L. Tingginya kelangsungan hidup, laju
pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting pada dosis pengkayaan 0.6
g/L disebabkan kandungan asam lemak w-3 HUFA (EPA dan DHA) nauplius Artemia yang dikonsumsi larva
kepiting pada dosis tersebut optimal untuk mendukung kelangsungan hidup dan
pertumbuhannya. Dengan demikian, tersedia energi yang cukup bagi larva kepiting
untuk memenuhi kebutuhan dasar, pemeliharaan membran sel- sel tubuh, aktivitas enzim pada sel berjalan normal, dan proses-proses
metabolisme berjalan lancar sehingga larva dapat mempertahankan kelangsungan
hidup, memanfaatkan energi untuk tumbuh dan mempunyai ketahanan melawan stres.
Rendahnya
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting pada perlakuan pengkayaan 0.0 g/L (kontrol)
disebabkan kandungan rendahnya kandungan EPA dan DHA nauplius Artemia
sehingga tidak memenuhi kebutuhan nutrisi larva.
Selanjutnya peningkatan dosis pengkayaan menjadi 0.9 g/L menurunkan
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres kepiting uji. Hal ini
diduga kandungan asam lemak w-3 HUFA nauplius Artemia yang dikonsumsi larva kepiting sudah
melebihi kebutuhannya.
EPA
dan DHA merupakan asam lemak esensial yang secara fisiologis berperan penting
dalam menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan normal. Asam lemak esensial
mempunyai peranan fisiologis penting yaitu sebagai molekul sumber energi dan
komponen fosfolipid yang berperanan penting dalam memepertahankan fleksibilitas
dan permeabilitas membran biologik sel, Kelebihan dan
kekurangan asam lemak asam lemak w-3 HUFA akan memberikan dampak yang sama terhadap larva kepiting yakni
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres kepiting menjadi
rendah. Kelebihan dan kekurangan asam lemak w-3 menyebabkan membran sel
tidak berfungsi, aktivitas enzim pada sel terhambat sehingga metabolisme
terganggu dan laju pertumbuhan menjadi rendah (Karim, 2006).
Kepiting lunak (Soft shell crab) adalah salah satu
makanan laut (Sea food) di dunia yang
terkenal karena kelezatannya. Kepiting
ini bukanlah spesies baru, melainkan kepiting bakau (Scylla spp.) yang dipanen sesaat setelah mereka molting (melepaskan
kulitnya yang keras). Komoditas ini
diekspor ke Amerika, Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia,
dan sejumlah negara di kawasan Eropa.
Indonesia dikenal
sebagai negara bahari dan kepulauan
terbesar di dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif
Indonesia (ZEEI) sekitar 5.7 juta kilometer persegi atau 75% dari total wilayah
Indonesia. Wilayah laut tersebut
ditaburi lebih dari 17.499 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.791
km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada. Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil
sebagai lahan tambak ± 1.2 juta Ha.
Sumberdaya alam yang
melimpah tidak serta merta membuat kegiatan budidaya kepiting cangkang lunak di
Indonesia menjadi mudah. Ada beberapa
faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas budidaya kepiting cangkang
lunak, antara lain musim, siklus bulan, pasang surut, dan kualitas air. Terjadi interaksi yang saling menguatkan dan
atau saling melemahkan diantara berbagai faktor tersebut. Kualitas air dipengaruhi oleh musim dan
pasang surut selanjutnya pasang surut dipengaruhi oleh musim dan siklus bulan. Dimusim-musim tertentu produktivitas menurun
dan dimusim lain produkstivitas meningkat.
Fluktuasi produksi
kepiting cangkang lunak pada skala komersil secara dinamik terjadi sepanjang
tahun. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan. Tujuan penelitian mengenai Pengaruh Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan Pasang Surut
Terhadap Molting Dan Produksi Kepiting Cangkang Lunsk (Soft Shell Crab) Di tambak Komersil ini adalah untuk mengamati dan
mengkaji pengaruh kualitas air,antara lain: suhu, salinitas,ph, oksigen, dan
amoniak serta siklus bulan, dan pasang surut terhadap molting dan produksi
kepiting cangkang lunak di tambak komersil Ady Crab Kabupaten barru Sulawesi
selatan. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa salinitas lebih besar dari 30 ppt menyebabkan aktivitas molting menurun. Pengaruh
negative salinitas yang tinggi semakin buruk dengan meningkatnya suhu. Bulan
purnama dan bulan mati yang terkait dengan pasang tinggi juga berpengaruh
terhadap menurunnya aktivitas molting, sebaliknya pada saat pasang rendah
aktivitas molting kepiting meningkat. Informasi
ini penting untuk mengontrol jalannya usaha dan menghindari kerugian yang
mungkin terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan.
Perubahan musim
mempengaruhi kualitas air tambak pemeliharaan kepiting
cangkang lunak (Tabel 2). Kualitas air yang sangat dipengaruhi oleh
musim adalah suhu dan salinitas. Suhu
dan salinitas tertinggi di dapatkan pada puncak musim kemarau yaitu sekitar
bulan Agustus.
Tabel
2. Data pengamatan kualitas air dalam
tambak pemeliharan kepiting selama
bulan April, Agustus, Desember 2011
Bulan
|
kualitas
air
|
||||
Suhu
|
Salinitas
|
pH
|
Do
|
Amoniak
|
|
April
|
26-33
|
25-33
|
7-8
|
1.15-7.07
|
0.013-0.024
|
Agustus
|
28-27
|
35-37
|
7-8
|
0.58-7.69
|
0.24-0.36
|
Desember
|
23-32
|
15-25
|
7-8
|
2.77-5.48
|
0.001-0.002
|
Ada dua musim di pantai
barat Sulawesi Selatan, musim kemarau dan musim hujan masing-masing selama
periode waktu enam bulan. Musim kemarau
biasanya berlangsung antara Mei hingga Oktober. Sedangkan Musim hujan antara
Nopember hingga April. Bulan Agustus adalah puncak musim kemarau dan Desember
adalah puncak musim hujan.
Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa salinitas lebih besar dari 30 ppt menyebabkan
aktivitas molting menurun. Pengaruh
negative salinitas yang tinggi semakin buruk dengan meningkatnya suhu karena
dapat mempengaruhi kelarutan amoniak toksik dan lebih buruk lagi ketika
pergantian air tidak dapat dilakukan akibat pasang rendah. Siklus bulan
berpengaruh terhadap aktivitas molting. Bulan purnama dan bulan mati yang
terkait dengan pasang tinggi berpengaruh terhadap menurunnya aktivitas molting,
sebaliknya pada saat bulan setengah yang terkait dengan pasang rendah rendah
atau pasang perbani aktivitas molting kepiting meningkat. Belum jelas apakah
gaya gravitasi bulan, atau intensitas cahaya bulan, atau pasang surut yang
ditimbulkan oleh siklus bulan yang
memengaruhi pelepasan hormone molting pada kepiting. Masih perlu penelitian lebih lanjut.
Pengggunaan ikan rucah
(trash fish atau fish bycatch) atau makanan segar dan segar-beku lainnya yang belum
mengalami proses untuk makanan kepitng telah banyak dilaporkan dan umumnya
digunakan pada budidaya kepitng ditambak. Namun, penggunaan ikan rucah
dihadapkan pada masalah yang membutuhkan penyimpanan khusus. Untuk itu, pakan
formula dengan kandungan bahan yang sesuai dapat menjadi sebuah alternatif.
How-Cheong et al. (1992) meneliti
bahwa pakan telah dapat diterima dengan baik oleh kepiting bakau. Marasigan
(1999), dalam Trino et al.(2001), juga melaporkan bahwa laju
pertumbuhan spesifik (SGR) dari beberapa jenis kepiting bakau yang diberi pakan
berupa pelet udang dapat menyamai pemberian pakan berupa pakan yang belum
diproses (unprocessed feed). Hasil
yang sama juga ditemukan oleh Kuntiyo (1992) dalam Trino et al.
(1999). Untuk itu penelitinan mengenai Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla
serrata) di Tambak Dengan Pemberian Pakan Berbeda dilakukan untuk melihat
kelayakan pembesaran kepiting bakau ditambak dengan menguji penggunaan beberapa
jenis pakan untuk mendapatkan jenis yang baik dan dapat memacu pertumbuhan
kepiting bakau selama masa pembesaran dimana pembesaran kpeiting bakau ditambak
dengan menggunakan 3 perlakuan pakan yakniberupa pelet udang (A), ikan rucah
(B), dan gabungan pakan keduanya (C). Erhadap benih kepiting krablet-30 (C-30)
dengan bobot rata-rata 0,66g/ekor ditebar dengan kepadatan 200 ekor/petak dan
dipelihara selama 3 bulan. Pakan diberikan 2 kali sehari selama penelitian.
Berikut merupakan
komposisi nuttrisi pakan pelet udang dan ikan rucah yang digunakan selama
penelitian.
Tabel
3. Komposisi proksimat (%) pakan (pelet) ikan rucah penelitian
Komposisi
(%)
|
Pelet
udang
|
Ikan
rucah
|
Protein
|
27,43
|
26,31
|
Lemak
|
6,53
|
3,43
|
Serat fiber
|
1,45
|
0,6
|
Debu
|
7,79
|
-
|
Kelembaban
|
-
|
62,36
|
Lainnya
|
56,8
|
7,3
|
Total
|
100
|
100
|
Sumber : Tahe (2008); Sulaeman et
al. (1993)
Hasil menunjukan bahwa
terdapat pengaruh yang nyata perlakuan terhadap pertumbuhan, baik pertumbuhan
bobot, panajang, maupun lebar karapas (p<0,5) namun berpengaruh tidak nyata
terhadap siintasan kepiting bakau. Berdasarkan presentase, kepiting yang mampu
mencapai bobot ≥75 g (80g) yakni 56%-90%. Dari pencapaian bobot ini, perlakuan
pembarian pelet berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya dan perlakuan
pemberian ikan rucah dan pemberian pakan gabungan pelet dan rucah berbeda tidak
nyata dan lebih tinggi dibandingan pembeian pelet. Oleh karena itu, kesimpulan
dari penelitian ini adalah pemberian pakan berupa ikan rucah atau campuran
antara iakan rucah dan pelet membeikan pertumbuhan bobot yang lebih baik dibanding
dengan pelet saja.
Berkembangnya usaha
budidaya kepiting, baik kepiting cangkang keras maupun cangkang lunak menuntut
inovasi teknologi yang sifatnya aplikatif, sehingga dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang muncul dalam usaha pembudidayaannya. Salah satu terobosan
penting yang telah dilakukan oleh Fujaya et
al. (2007) adalah ditemukannya stimulan molting yang berasal dari ekstrak
bayam. Penemuan ini sangat menjanjikan untuk teknologi produksi kepiting
cangkang lunak (soft shell) yang telah ada sebelumnya dengan cara mutilasi
(Karim, 2007). Dijelaskan bahwa produksi soft shell atau kepiting cangkang lunak dengan mutilasi
atau induksi autotomi dilakukan dengan
pelepasan organ capit dan kaki jalan, kecuali kaki renang. Fujaya
et al. (2007) menyatakan bahwa proses produksi
secara mutilasi dinilai tidak begitu layak dan efektif untuk diterapkan karena
selain mortalitas yang sangat tinggi juga adanya penolakan oleh negara
konsumen.
Penggunaan ekstrak bayam yang diberikan dengan cara
penyuntikan dirasakan kurang efisien dilakukan dalam skala besar (Fujaya et al.,
2008). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pakan buatan
sebagai media aplikasi ekstrak bayam. Berdasarkan uji yang telah dilakukan
terbukti bahwa ekstrak bayam dapat diberikan melalui pakan buatan, dan efektif
mempercepat molting dan meningkatkan pertumbuhan (Fujaya et al.,
2009).
Perlakuan yang diuji adalah empat pakan buatan berbentuk
pellet dengan berbagai kadar protein dan karbohidrat. Keempat pakan tersebut diformulasi dengan substitusi limbah pangan. Pakan kontrol yang digunakan dengan kadar
protein dan karbohidrat pakan 47,2% dan 34,4% diformulasi dengan substitusi
bahan baku non limbah (Aslamyah & Fujaya, 2009). Masing masing pakan uji dan kontrol diperkaya
ekstrak bayam dengan dosis 700 ng/g kepiting (Fujaya et al.,
2009). Ekstrak bayam dilarutkan dengan
etanol 80% dengan perbandingan 1:1 kemudian dihomogenkan. Larutan ditambah
etanol
Persentase
molting tertinggi diperlihatkan kepiting uji pada perlakuan pakan D (30,62% P;
49,13% K) 100%, diikuti perlakuan pakan C (35,62% P; 44,32% K) 66,67%,
perlakuan pakan B (41,57% P; 38,29% K) 53,33%, dan perlakuan pakan A (46,84% P;
33,33% K) dengan persentase molting terendah, yaitu 46,67%. Respon molting kepiting bakau yang berbeda
pada berbagai jenis pakan buatan berekstrak bayam terjadi karena perbedaan komposisi bahan baku
yang digunakan dalam formulasi pakan yang berakibat pada perbedaan dalam kadar
nutrien pakan. Kepiting membutuhkan pakan
untuk mempertahankan eksistensi hidup serta pertumbuhan, dan akan bertumbuh
dengan baik jika pakan yang tersedia mengandung semua unsur-unsur nutrien yang
dibutuhkan dalam kadar yang optimal. Menurut Gutierrez-Yurrita & Montes
(2001), komposisi nutrien pakan
essensial akan menentukan pertumbuhan dan efisiensi pakan organisme.
Pakan dengan kadar
protein 30,62% dan karbohidrat 49,13% yang diperkaya ekstrak bayam dengan dosis
700 ng/g kepiting merupakan pakan terbaik dalam menginduksi molting kepiting
bakau.hal ini merupakan respon positif
dari ekstrak bayam. Ekstrak bayam adalah stimulan molting yang
mengandung hormon molting (fitoekdisteroid). Hasil penelitian Fujaya et al. (2007), menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak bayam pada
kepiting dapat mempercepat dan menyerentakkan molting, tidak menyebabkan
kematian, pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi ekstrak bayam lebih besar
dibandingkan tanpa aplikasi ekstrak bayam. Pakan buatan yang digunakan sebaiknya mempunyai kadar nutrien yang
seimbang dan merupakan campuran berbagai bahan baku pakan agar kandungan
nutriennya saling melengkapi (Aslamsyah, 2010).
Selain usaha budidaya
kepitng cangkang lunak (Soft crab),
salah satu jenis usaha budidaya kepiting yakni usaha pengemukan kepiting bakau
(Scylla sp.) dalam usaha budidaya
penggemukan kepitng bakau pada umumnya petani tambak melakukan usaha
penggemukan secara tradisional, yakni dengan cara tebar langsung pada tambak
secara massal. Sealin faktor kualitas air, pakan, dan kanibalisme masalah lain
yang dihadapi para petambak kepiting adalah kurangnya informasi tentang padat
tebar yang baik untuk membudidayakan penggemukan kepiting bakau tersebut.
Berdasarkan studi dan
observasi lapangan, selama ini masyarakat dalam usaha penggemukan menggunakan
padat tebar 1 ekor/m2. Hal ini didukung pendapat Rida’s (2008), yang
menyatakan bahwa usaha budidaya pembesaran kepitng bakau yang baik adalah 1
ekor/m2. Karena kepiring muda akan tumbuh menjadi besar, selain
proses molting yang dialami menyebabkan tingkat kanibalisme menjadi lebih
tinggi. Mengingat pada usaha penggemukan kepiting bakau ini tidak mengalami
proses molting makan pertumbuhan panjang dan lebar tidak terjadi. Oleh karana
itu dibutuhkan penelitian menganai budidaya Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda
Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Pada Penggemukan Kepiting Bakau
(Scylla sp). pada penelitian tersebut ada 4 perlakuan dan 3 kali pengulangan
dimana rinciannya sebagai berikut A = padat tebar 1 ekor/m2, B = 2
ekor/m2, C = 3 ekor/m2, D = 4 ekor/m2.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Hanting (1969) dalam Affandi dan Tang (2002), anatara lain waktu, densitas, berat
awal, jumlah makanan, kualitas makanan, metode peemberian pakan, frekuensi
pemberian pakan, penyakit, padat tebar, genetik dan kualitas air. Sedangakan
Effendi (1997), menyatakan pertumbuhan merupakan salah satu parameter dalam
budidaya, pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Sifat gengetik spesies dari kultivan, jenis kelamin dan status fisiologi organisme
merupakan faktor internal sedangkan faktor eksternala antara lain faktor
lingkungan, padat [penebaran, pakan, suhu, oksigen terlarut, pH, kekeruhan,
bahan organik, hama seta penyakit.
Setelah
melakukan pengamatan, analisis dan pembahasan terhadap data yang diperoleh
selama penelitian makan dihasilkan suatu kesimpulan yaitu ; hasil analisa sidik
ragam menunjukan bahwa pada setiap perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang
signifikan terhadap rata-rata pertumbuhan berat mutlak kepiting. Nilai
rata-rata berat mutlak yang tertinggi pada perlakuan D yaitu sebesar 43,8 g dan
yang terendah pada perlakuan B yaitu sebear 25 g. Sedangakn untuk tingkat
kelulushidupan atau kelangsunga hidup pada setiap perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang signifikan. Perlakuan A memeilki tingkat kelangsungan hidup
tertingi mencapai 100% dari perlakuan B tingkat kelangsungan hidupnya rendah
yaitu 50% (Azis, 2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Azis.,
Heppi I., M. Fadnan. 2010. Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Pada
Penggemukan Kepiting
Bakau (Scylla sp). [jurnal]. FPIK Univ. Borneo Tarakan.
Herlinah.,
dkk. 2010. Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla
serrata) Di Tambak
Dengan Pemberian Pakan Yang Berbeda.
[jurnal]. Balai Riset Periknan
Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan.
Karim, M. Yusri. 2006. Respon Fisiologis
Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil
Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak
w-3 Hufa.
[jurnal]. FPIK Univ. Hasanuddin. Makasar.
Aslamsyah,
Siti,. Yushita F. 2010. Stimulasi Molting Pertumbuhan Kepiting
bakau (Scylla sp.) Melalui Aplikasi Pakn Buatan Berbahan Dasar Limbah
Pangan Yang Diperkaya Dengan Ekstrak
Bayam. [jurnal]. FPIK Univ.
Haasanuddin. Sulawesi Selatan.
Yushita
Fujaya., Nur Alam. Pengaruh Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan Pasang
Surut Terhadap Molting Dan Produksi
Kepiting Cangkang Lunsk (Soft
Shell
Crab)
Di tambak Komersil. [jurnal]. FPIK Univ. Haasanuddin.
Sulawesi Selatan. Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar