Kamis, 06 Juni 2013

Penggunaan Berapa Jenis Pakan Dalam Mendukung Pertumbuhan, Molting dan Penggemukan pada Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kepiting bakau (Scylla serrata Forsskal) merupakan salah satu sumberdaya perikanan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan. Jenis kepiting ini telah dikenal baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan, M. R., 2002). Daging kepiting bakau mengandung 47.5% protein dan 11.20% lemak (Karim, M. Y., 2005).
Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya kepiting bakau adalah ketersediaan benih. Selama ini kebutuhan benih kepiting masih sangat bergantung kepada hasil penangkapan di alam sehingga kesinambungan produksi dari usaha budidayanya sulit dipertahankan sepanjang tahun. Dengan kondisi demikian, maka salah satu cara untuk mengatasi masalah penyediaan benih adalah memproduksi benih secara massal melalui usaha pembenihan.
Masalah utama yang dihadapi pada usaha pembenihan kepiting bakau dewasa ini adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup dan ketahanan stres pada stadia larva terutama pada stadia zoea dan megalopa. Salah satu penyebab adalah rendahnya mutu pakan yang diberikan (Yunus, K. Suwirya, Kasprijo, dan I. Setyadi, 1996). Oleh sebab itu, perlu disiapkan pakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan larva yakni pakan alami yang berkualitas. Salah satu jenis pakan alami yang umum digunakan pada panti pembenihan adalah Artemia (Whyte, J.N.C., W.C. Clarke, N.G. Ginther, J.O.T. Jensen and L.D. Townsend, 1994), karena mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik (Watanabe, T. and V. Kiron, 1994). Namun dari hasil analisis gizi menunjukkan bahwa Artemia memiliki kandungan asam lemak w-3 HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) yang sangat rendah, terutama asam eicosapentaenoic (EPA, 20:5w-3) dan docosahexaenoic (DHA, 22:6w-3) (Takeuchi, T., M. Toyota, and T. Watanabe, 1992). EPA dan DHA bersifat esensial yang secara fisiologis merupakan sumber energi penting dalam menunjang pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan ketahanan stres krustase (D’Abramo, L. R. and  S. S. Sheen, 1993). Asam lemak tersebut bersifat esensial sehingga harus diperoleh dari luar tubuh (Millamena, O.M. and E. T. Quinito, 1985).  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis larva kepiting bakau yang diberi nauplius Artemia hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA meliputi kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres pada stadia megalopa higga crablet. Hasil percobaan ini diharapkan menjadi salah satu bahan infomasi  bagi usaha pembenihan kepiting bakau.
Penelitian mengenai Respon Fisiologis Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata) Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak w-3 Hufa  ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis kepiting bakau yang diberi nauplius Artemia hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA meliputi tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres dari stadia  megalopa sampai crablet. Penelitian dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah. Larva diberi pakan nauplius Artemia hasil bioenkapsulasi dengan asam lemak w-3 HUFA berupa emulsi ICES pada empat tingkatan (0.0; 0.3; 0.6 and 0.9 g emulsi ICES/L). Hasil analisis asam lemak w-3 HUFA nauplius Artemia setelah diperkaya dengan emulsi ICES disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Konsentrasi asam lemak w-3 HUFA naupliu Artemia yang diperkaya
  dengan emulsi ICES
Dosis Pengkayaan  (g/L)
Konsentrasi Asam Lemak w-3 HUFA
Nauplius Artemia (g/100g)
C20 : 5w-3 (EPA)
C22 : 6w-3 (DHA)
0.0
3.62 ±  0.04d
0.99 ± 0.03d
0.3
15.34 ± 0.03c
1.55 ± 0.04c
0.6
21.88 ± 0.03b
6.07 ± 0.02b
0.9
25.05 ± 0.02a
9.23 ± 0.03a
Keterangan :  Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda
         antara  perlakuan pada taraf  5% (p < 0,05).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nauplius Artemia yang diperkaya dengan asam lemak w-3 HUFA secara nyata (p<0.05) meningkatkan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting bakau dari stadia megalopa sampai crablet dan  dosis terbaik adalah 0.6 g emulsi ICES/L. Tingginya kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting pada dosis pengkayaan 0.6 g/L disebabkan kandungan asam lemak w-3 HUFA (EPA dan DHA) nauplius Artemia yang dikonsumsi larva kepiting pada dosis tersebut optimal untuk mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Dengan demikian, tersedia energi yang cukup bagi larva kepiting untuk memenuhi kebutuhan dasar, pemeliharaan membran sel- sel tubuh, aktivitas enzim pada sel berjalan normal, dan proses-proses metabolisme berjalan lancar sehingga larva dapat mempertahankan kelangsungan hidup, memanfaatkan energi untuk tumbuh dan mempunyai ketahanan melawan stres.
Rendahnya kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres larva kepiting pada perlakuan pengkayaan 0.0 g/L (kontrol) disebabkan kandungan rendahnya kandungan EPA dan DHA nauplius Artemia sehingga tidak memenuhi kebutuhan nutrisi larva. Selanjutnya peningkatan dosis pengkayaan menjadi 0.9 g/L menurunkan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres kepiting uji. Hal ini diduga kandungan asam lemak w-3 HUFA nauplius Artemia yang dikonsumsi larva kepiting sudah melebihi kebutuhannya.
EPA dan DHA merupakan asam lemak esensial yang secara fisiologis berperan penting dalam menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan normal. Asam lemak esensial mempunyai peranan fisiologis penting yaitu sebagai molekul sumber energi dan komponen fosfolipid yang berperanan penting dalam memepertahankan fleksibilitas dan permeabilitas membran biologik sel, Kelebihan dan kekurangan asam lemak asam lemak w-3 HUFA akan memberikan dampak yang sama terhadap larva kepiting yakni kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, dan ketahanan stres kepiting menjadi rendah. Kelebihan dan kekurangan asam lemak w-3 menyebabkan membran sel tidak berfungsi, aktivitas enzim pada sel terhambat sehingga metabolisme terganggu dan laju pertumbuhan menjadi rendah (Karim, 2006).
Kepiting lunak (Soft shell crab) adalah salah satu makanan laut (Sea food) di dunia yang terkenal karena kelezatannya.  Kepiting ini bukanlah spesies baru, melainkan kepiting bakau (Scylla spp.) yang dipanen sesaat setelah mereka molting (melepaskan kulitnya yang keras).  Komoditas ini diekspor ke Amerika, Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa.
Indonesia dikenal sebagai negara bahari  dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 5.7 juta kilometer persegi atau 75% dari total wilayah Indonesia.  Wilayah laut tersebut ditaburi lebih dari 17.499 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.791 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada.  Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak ± 1.2 juta Ha.  
Sumberdaya alam yang melimpah tidak serta merta membuat kegiatan budidaya kepiting cangkang lunak di Indonesia menjadi mudah.  Ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas budidaya kepiting cangkang lunak, antara lain musim, siklus bulan, pasang surut, dan kualitas air.  Terjadi interaksi yang saling menguatkan dan atau saling melemahkan diantara berbagai faktor tersebut.  Kualitas air dipengaruhi oleh musim dan pasang surut selanjutnya pasang surut dipengaruhi oleh musim dan siklus bulan.  Dimusim-musim tertentu produktivitas menurun dan dimusim lain produkstivitas meningkat.
Fluktuasi produksi kepiting cangkang lunak pada skala komersil secara dinamik terjadi sepanjang tahun. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Tujuan penelitian mengenai Pengaruh Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan Pasang Surut Terhadap Molting Dan Produksi Kepiting Cangkang Lunsk (Soft Shell Crab) Di tambak Komersil ini adalah untuk mengamati dan mengkaji pengaruh kualitas air,antara lain: suhu, salinitas,ph, oksigen, dan amoniak serta siklus bulan, dan pasang surut terhadap molting dan produksi kepiting cangkang lunak di tambak komersil Ady Crab Kabupaten barru Sulawesi selatan.  Hasil pengamatan menunjukkan bahwa salinitas lebih besar dari 30 ppt menyebabkan aktivitas molting menurun. Pengaruh negative salinitas yang tinggi semakin buruk dengan meningkatnya suhu. Bulan purnama dan bulan mati yang terkait dengan pasang tinggi juga berpengaruh terhadap menurunnya aktivitas molting, sebaliknya pada saat pasang rendah aktivitas molting kepiting meningkat.  Informasi ini penting untuk mengontrol jalannya usaha dan menghindari kerugian yang mungkin terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan.
Perubahan musim mempengaruhi kualitas air tambak pemeliharaan kepiting
cangkang lunak (Tabel 2).  Kualitas air yang sangat dipengaruhi oleh musim adalah suhu dan salinitas.  Suhu dan salinitas tertinggi di dapatkan pada puncak musim kemarau yaitu sekitar bulan Agustus.
Tabel 2.  Data pengamatan kualitas air dalam tambak pemeliharan kepiting selama
   bulan April, Agustus, Desember 2011
Bulan
kualitas air
Suhu
Salinitas
pH
Do
Amoniak
April
26-33
25-33
7-8
1.15-7.07
0.013-0.024
Agustus
28-27
35-37
7-8
0.58-7.69
0.24-0.36
Desember
23-32
15-25
7-8
2.77-5.48
0.001-0.002

Ada dua musim di pantai barat Sulawesi Selatan, musim kemarau dan musim hujan masing-masing selama periode waktu enam bulan.  Musim kemarau biasanya berlangsung antara Mei hingga Oktober. Sedangkan Musim hujan antara Nopember hingga April. Bulan Agustus adalah puncak musim kemarau dan Desember adalah puncak musim hujan.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa salinitas lebih besar dari 30 ppt menyebabkan aktivitas molting menurun.  Pengaruh negative salinitas yang tinggi semakin buruk dengan meningkatnya suhu karena dapat mempengaruhi kelarutan amoniak toksik dan lebih buruk lagi ketika pergantian air tidak dapat dilakukan akibat pasang rendah. Siklus bulan berpengaruh terhadap aktivitas molting. Bulan purnama dan bulan mati yang terkait dengan pasang tinggi berpengaruh terhadap menurunnya aktivitas molting, sebaliknya pada saat bulan setengah yang terkait dengan pasang rendah rendah atau pasang perbani aktivitas molting kepiting meningkat. Belum jelas apakah gaya gravitasi bulan, atau intensitas cahaya bulan, atau pasang surut yang ditimbulkan oleh siklus bulan  yang memengaruhi pelepasan hormone molting pada kepiting.  Masih perlu penelitian lebih lanjut.
Pengggunaan ikan rucah (trash fish atau fish bycatch) atau makanan segar dan segar-beku lainnya yang belum mengalami proses untuk makanan kepitng telah banyak dilaporkan dan umumnya digunakan pada budidaya kepitng ditambak. Namun, penggunaan ikan rucah dihadapkan pada masalah yang membutuhkan penyimpanan khusus. Untuk itu, pakan formula dengan kandungan bahan yang sesuai dapat menjadi sebuah alternatif. How-Cheong et al. (1992) meneliti bahwa pakan telah dapat diterima dengan baik oleh kepiting bakau. Marasigan (1999), dalam Trino et al.(2001), juga melaporkan bahwa laju pertumbuhan spesifik (SGR) dari beberapa jenis kepiting bakau yang diberi pakan berupa pelet udang dapat menyamai pemberian pakan berupa pakan yang belum diproses (unprocessed feed). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Kuntiyo (1992) dalam Trino et al. (1999). Untuk itu penelitinan mengenai Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak Dengan Pemberian Pakan Berbeda dilakukan untuk melihat kelayakan pembesaran kepiting bakau ditambak dengan menguji penggunaan beberapa jenis pakan untuk mendapatkan jenis yang baik dan dapat memacu pertumbuhan kepiting bakau selama masa pembesaran dimana pembesaran kpeiting bakau ditambak dengan menggunakan 3 perlakuan pakan yakniberupa pelet udang (A), ikan rucah (B), dan gabungan pakan keduanya (C). Erhadap benih kepiting krablet-30 (C-30) dengan bobot rata-rata 0,66g/ekor ditebar dengan kepadatan 200 ekor/petak dan dipelihara selama 3 bulan. Pakan diberikan 2 kali sehari selama penelitian.
Berikut merupakan komposisi nuttrisi pakan pelet udang dan ikan rucah yang digunakan selama penelitian.
Tabel 3. Komposisi proksimat (%) pakan (pelet) ikan rucah penelitian
Komposisi (%)
Pelet udang
Ikan rucah
Protein
27,43
26,31
Lemak
6,53
3,43
Serat fiber
1,45
0,6
Debu
7,79
-
Kelembaban
-
62,36
Lainnya
56,8
7,3
Total
100
100
  Sumber : Tahe (2008); Sulaeman et al. (1993)

Hasil menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang nyata perlakuan terhadap pertumbuhan, baik pertumbuhan bobot, panajang, maupun lebar karapas (p<0,5) namun berpengaruh tidak nyata terhadap siintasan kepiting bakau. Berdasarkan presentase, kepiting yang mampu mencapai bobot ≥75 g (80g) yakni 56%-90%. Dari pencapaian bobot ini, perlakuan pembarian pelet berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya dan perlakuan pemberian ikan rucah dan pemberian pakan gabungan pelet dan rucah berbeda tidak nyata dan lebih tinggi dibandingan pembeian pelet. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian pakan berupa ikan rucah atau campuran antara iakan rucah dan pelet membeikan pertumbuhan bobot yang lebih baik dibanding dengan pelet saja.
Berkembangnya usaha budidaya kepiting, baik kepiting cangkang keras maupun cangkang lunak menuntut inovasi teknologi yang sifatnya aplikatif, sehingga dapat mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam usaha pembudidayaannya. Salah satu terobosan penting yang telah dilakukan oleh Fujaya et al. (2007) adalah ditemukannya stimulan molting yang berasal dari ekstrak bayam. Penemuan ini sangat menjanjikan untuk teknologi produksi kepiting cangkang lunak (soft shell)  yang telah ada sebelumnya dengan cara mutilasi (Karim, 2007). Dijelaskan bahwa produksi soft shell  atau kepiting cangkang lunak dengan mutilasi atau induksi autotomi  dilakukan dengan pelepasan organ capit dan kaki jalan, kecuali kaki renang.  Fujaya  et al.  (2007) menyatakan bahwa proses produksi secara mutilasi dinilai tidak begitu layak dan efektif untuk diterapkan karena selain mortalitas yang sangat tinggi juga adanya penolakan oleh negara konsumen.
          Penggunaan ekstrak bayam yang diberikan dengan cara penyuntikan dirasakan kurang efisien dilakukan dalam skala besar (Fujaya  et al., 2008). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pakan buatan sebagai media aplikasi ekstrak bayam. Berdasarkan uji yang telah dilakukan terbukti bahwa ekstrak bayam dapat diberikan melalui pakan buatan, dan efektif mempercepat molting dan meningkatkan pertumbuhan (Fujaya  et al., 2009).
          Perlakuan yang diuji adalah empat pakan buatan berbentuk pellet dengan berbagai kadar protein dan karbohidrat.  Keempat pakan tersebut diformulasi  dengan substitusi   limbah pangan.  Pakan kontrol yang digunakan dengan kadar protein dan karbohidrat pakan 47,2% dan 34,4% diformulasi dengan substitusi bahan baku non limbah (Aslamyah & Fujaya, 2009).  Masing masing pakan uji dan kontrol diperkaya ekstrak bayam dengan dosis 700 ng/g kepiting (Fujaya  et al., 2009).  Ekstrak bayam dilarutkan dengan etanol 80% dengan perbandingan 1:1 kemudian dihomogenkan. Larutan ditambah etanol
            Persentase molting tertinggi diperlihatkan kepiting uji pada perlakuan pakan D (30,62% P; 49,13% K) 100%, diikuti perlakuan pakan C (35,62% P; 44,32% K) 66,67%, perlakuan pakan B (41,57% P; 38,29% K) 53,33%, dan perlakuan pakan A (46,84% P; 33,33% K) dengan persentase molting terendah, yaitu 46,67%.  Respon molting kepiting bakau yang berbeda pada berbagai jenis pakan buatan berekstrak bayam  terjadi karena perbedaan komposisi bahan baku yang digunakan dalam formulasi pakan yang berakibat pada perbedaan dalam kadar nutrien pakan. Kepiting  membutuhkan pakan untuk mempertahankan eksistensi hidup serta pertumbuhan, dan akan bertumbuh dengan baik jika pakan yang tersedia mengandung semua unsur-unsur nutrien yang dibutuhkan dalam kadar yang optimal. Menurut Gutierrez-Yurrita & Montes (2001),  komposisi nutrien pakan essensial akan menentukan pertumbuhan dan efisiensi pakan organisme.
Pakan dengan kadar protein 30,62% dan karbohidrat 49,13% yang diperkaya ekstrak bayam dengan dosis 700 ng/g kepiting merupakan pakan terbaik dalam menginduksi molting kepiting bakau.hal ini merupakan respon positif  dari ekstrak bayam. Ekstrak bayam adalah stimulan molting yang mengandung hormon molting (fitoekdisteroid).  Hasil penelitian Fujaya et al. (2007), menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak bayam pada kepiting dapat mempercepat dan menyerentakkan molting, tidak menyebabkan kematian, pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi ekstrak bayam lebih besar dibandingkan tanpa aplikasi ekstrak bayam. Pakan buatan yang digunakan  sebaiknya mempunyai kadar nutrien yang seimbang dan merupakan campuran berbagai bahan baku pakan agar kandungan nutriennya saling melengkapi (Aslamsyah, 2010).
Selain usaha budidaya kepitng cangkang lunak (Soft crab), salah satu jenis usaha budidaya kepiting yakni usaha pengemukan kepiting bakau (Scylla sp.) dalam usaha budidaya penggemukan kepitng bakau pada umumnya petani tambak melakukan usaha penggemukan secara tradisional, yakni dengan cara tebar langsung pada tambak secara massal. Sealin faktor kualitas air, pakan, dan kanibalisme masalah lain yang dihadapi para petambak kepiting adalah kurangnya informasi tentang padat tebar yang baik untuk membudidayakan penggemukan kepiting bakau tersebut.
Berdasarkan studi dan observasi lapangan, selama ini masyarakat dalam usaha penggemukan menggunakan padat tebar 1 ekor/m2. Hal ini didukung pendapat Rida’s (2008), yang menyatakan bahwa usaha budidaya pembesaran kepitng bakau yang baik adalah 1 ekor/m2. Karena kepiring muda akan tumbuh menjadi besar, selain proses molting yang dialami menyebabkan tingkat kanibalisme menjadi lebih tinggi. Mengingat pada usaha penggemukan kepiting bakau ini tidak mengalami proses molting makan pertumbuhan panjang dan lebar tidak terjadi. Oleh karana itu dibutuhkan penelitian menganai budidaya Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Pada Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla sp). pada penelitian tersebut ada 4 perlakuan dan 3 kali pengulangan dimana rinciannya sebagai berikut A = padat tebar 1 ekor/m2, B = 2 ekor/m2, C = 3 ekor/m2, D = 4 ekor/m2.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Hanting (1969) dalam Affandi dan Tang (2002), anatara lain waktu, densitas, berat awal, jumlah makanan, kualitas makanan, metode peemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, penyakit, padat tebar, genetik dan kualitas air. Sedangakan Effendi (1997), menyatakan pertumbuhan merupakan salah satu parameter dalam budidaya, pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Sifat gengetik spesies dari kultivan, jenis kelamin dan status fisiologi organisme merupakan faktor internal sedangkan faktor eksternala antara lain faktor lingkungan, padat [penebaran, pakan, suhu, oksigen terlarut, pH, kekeruhan, bahan organik, hama seta penyakit.
            Setelah melakukan pengamatan, analisis dan pembahasan terhadap data yang diperoleh selama penelitian makan dihasilkan suatu kesimpulan yaitu ; hasil analisa sidik ragam menunjukan bahwa pada setiap perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata pertumbuhan berat mutlak kepiting. Nilai rata-rata berat mutlak yang tertinggi pada perlakuan D yaitu sebesar 43,8 g dan yang terendah pada perlakuan B yaitu sebear 25 g. Sedangakn untuk tingkat kelulushidupan atau kelangsunga hidup pada setiap perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Perlakuan A memeilki tingkat kelangsungan hidup tertingi mencapai 100% dari perlakuan B tingkat kelangsungan hidupnya rendah yaitu 50% (Azis, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Azis., Heppi I., M. Fadnan. 2010. Pengaruh Padat Tebar Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Pada Penggemukan Kepiting
Bakau (Scylla sp). [jurnal]. FPIK Univ. Borneo Tarakan.

Herlinah., dkk. 2010. Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Tambak
Dengan Pemberian Pakan Yang Berbeda. [jurnal]. Balai Riset Periknan
Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan.

Karim, M. Yusri. 2006. Respon Fisiologis Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak
w-3 Hufa. [jurnal]. FPIK Univ. Hasanuddin. Makasar.

Aslamsyah, Siti,. Yushita F. 2010. Stimulasi Molting Pertumbuhan Kepiting
bakau (Scylla sp.) Melalui Aplikasi Pakn Buatan Berbahan Dasar Limbah
Pangan Yang Diperkaya Dengan Ekstrak Bayam. [jurnal]. FPIK Univ.
Haasanuddin. Sulawesi Selatan.

Yushita Fujaya., Nur Alam. Pengaruh Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan Pasang
Surut Terhadap Molting Dan Produksi Kepiting Cangkang Lunsk (Soft
Shell Crab) Di tambak Komersil. [jurnal]. FPIK Univ. Haasanuddin.

            Sulawesi Selatan. Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar