Penilaian
Ekoefisien Budidaya Intensif Udang Vanname (Litopenaeus
vannamei) Berbasis teknologi Bioflok
Dalam sistem berbasis lahan, budidaya
tidak hanya mengambil air dan mengembalikannya, akan tetapi kondisi air buangan
yang dikeluarkan dalam kondisi sudah terdegradasi. Di daerah beriklim tropis
penggunaan air juga berarti mempercepat hilangnya air permukaan tanah karena
penguapan dan rembesan dengan rerata 1-3% volume kolam per hari (Kautsky et al
, 2000a). Untuk mengurangi dampak
negatif limbah budidaya terhadap lingkungan, budidaya udang dapat dilakukan
dengan sistem zero exchange water sehingga dapat mengurangi resiko pencemaran
limbah budidaya udang ke perairan umum (Crab, et al. 2009). Namun pergantian
air yang terbatas dan kepadatan tinggi berpotensi menaikan resiko akumulasi
bahan organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan, residu ekskresi
ammonia dan sisa metabolisme (Read & Fernandes, 2003). Reduksi ammonia dan
nitrit dapat dilakukan dengan perlakuan kimia, fisika dan biologi,
Salah satunya adalah dengan penerapan
teknologi bioflok (bio-floc technology system) (Avnimelech, 1999). Penerapan
teknologi bioflok dalam kegiatan budidaya udang/ikan prinsipnya memanfaatkan
limbah ammonia dan nitrit pada kolam budidaya menjadi bahan pakan alami dengan
bantuan bakteri heterotrofik, akan tetapi proses penyerapan nitrogen anorganik
oleh bakteri hanya terjadi ketika rasio C/N lebih tinggi dari 10 (Burford,
2003). Ballester et al (2010) mengatakan bahwa teknologi bioflok pada budidaya
ikan dan udang dapat mengurangi konsumsi tepung ikan dan rasio konversi pakan
ikan dapat dikurangi karena tergantikan oleh produksi pakan alami berupa
bioflok. Dalam hal penggunaan energi, jejak carbon terkait kegiatan budidaya
udang meliputi penggunaan langsung,
Bila dibandingkan dengan sistem budidaya
konvensional teknologi bioflok dianggap lebih ramah lingkungan karena hemat
dalam hal penggunaan air, pergantian air yang terbatas mengurangi risiko
penyebaran patogen, dan penggunaan lahan lebih optimal karena kepadatan tinggi
(McIntosh et al., 2000). Dalam budidaya intensif, pemberian pakan dan teknik
pemeliharaan kualitas air dengan sistem tertutup dan pergantian air terbatas,
membuka peluang penggunaan energi tinggi dan menghasilkan emisi gas rumah kaca
yang signifikan (Folke 1988). Roy dan Knowles (1995) mengkritisi bahwa
teknologi bioflok hanya berkonsentrasi pada konversi TAN (total ammonia
nitrogen) menjadi nitrit, tetapi tidak memperhitungkan konsumsi O2 yang
dibutuhkan untuk proses aerobik oleh bakteri dalam proses mengubah nitrit
menjadi nitrat. Teknik bioflok dapat menyebabkan masalah lingkungan lain yang
berkaitan dengan akumulasi nitrat. Klaim ramah lingkungan teknologi bioflok
masih terbatas pada berkurangnya dampak lingkungan perairan, seperti pencemaran
bahan organik, penyebaran patogen dan efesiensi penggunaan lahan serta air,
sementara input energi, kebutuhan bahan dan peralatan juga berpotensi
menyumbang potensi penurunan kualitas lingkungan global.
Penerapan teknologi bioflok tidak serta
merata menyelesaikan persoalan lingkungan pada kegiatan budidaya udang vanname,
karena masih menjadi perdebatan karena input energi dan bahan dalam
penerapannya. Salah satu cara untuk mengukur keberlanjutan lingkungan suatu
kegiatan produksi adalah dengan penilaian ekoefesiensi. Ekoefisiensi adalah
alat bantu untuk mengukur nilai skala lingkungan suatu produk dari prespektif
ekonomi dan biaya lingkungan yang ditimbulkan. Ekoefisiensi didefinisikan
sebagai konsep efisiensi yang memasukan aspek sumberdaya alam dan proses produksi
yang meminimalkan input bahan baku, air, energi serta dampak lingkungan per
unit produksi. World Bussiness Council for Sustainable Development
memperkenalkan konsep tersebut dan mengidentifikasi adanya tujuh faktor kunci
dalam eko-efisensi yaitu, pengurangan bahan baku, mengurangi konsumsi energi,
mengurangi pencemaran, memperbesar daur ulang bahan, memperbesar porsi
sumberdaya alam yang renewable,
memperpanjang umur pakai produk dan meningkatkan intensitas pelayanan (ProLH,
2007).
Biomassa mikroba/ bakteri yang tumbuh di
kotoran ikan, pakan yang tidak terzmakan dan limbah budidaya dapat dimanfaatkan
untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan pada media budidaya, seperti
ammonium. Kekuatan utama dan pendorong berjalannya sistem ini adalah pertumbuhan
bakteri heterotrofik secara intensif (Avnimelech, 2006). Bakteri heterotrof
diberikan guna membantu proses penguraian limbah nitrogen organik dari pakan
dan sisa metabolisme untuk diubah menjadi biomassa bakteri (Schneider et al.,
2006). Biofloc Technology System adalah upaya menumbuhkan bakteri heterotrofik
dan alga dalam flock (kumpulan) pada kondisi terkendali di dalam perairan.
Karakter kunci penerapan teknologi ini
penggunaan geomembrane untuk melapisi dasar dan pematang tambak yang bertujuan
agar proses biokimia di dalam tambak dapat dikendalikan. Kincir air digunakan
untuk mensuplai oksigen
agar
proses oksidasi dan kebutuhan respirasi terpenuhi, seiring pemberian karbon
organik untuk menjaga C:N ratio berada pada level > 10. Dari hasil observasi
dan interview diperoleh data inventory input bahan dan sumberdaya seperti
tertera pada tabel 2. Hasil perhitungan LCIA menunjukan bahwa dampak lingkungan
yang berasal energi listrik memberi kontribusi tertinggi, menyusul input pakan
dan bahan kimia. Berdasarkan sumber bahan dan energi yang digunakan dalam
proses budidaya tersebut, kontribusi dampak diatas 5% adalah listrik (42%),
penggunaan klorin (27%), transportasi bahan (19%), dan bahan-bahan lain (14%).
Penilaian
dampak lingkungan dari siklus produksi dengan menggunakan metode eco-indicator
95 dan perhitungan eco-costs 2012 menghasilkan besaran biaya virtual sebagai
biaya preventif pecegahan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Biaya lingkungan
setelah dilakukan normalisai dan pembobotan dari lima kategori dampak
lingkungan yaitu achidification, carcinogens,
eutrophication, greenhouse dan summer smog pada kegiatan tersebut adalah
Rp.1.089.170,-. (berdasarkan nilai konversi euro ke rupiah bank indonesia tgl 2
Agustus 2013). Biaya terbesar proses budidaya untuk menghasilkan 1 ton udang
vanname dengan teknologi bioflok adalah pakan dengan nilai sebesar Rp.
18.301.500,- (69%), menyusul listrik Rp. 4.972.500,-(19%) dan biaya lainnya
termasuk benih, bahan kimia dan HDPE sebesar Rp. 3.422.452,- (12%). Total biaya
operasional per ton produksi diluar biaya investasi tambak dan tenaga kerja
adalah Rp. 26.696.452,-. Harga jual udang vanname selain dipengaruhi pasar
seperti persediaan dan permintaan pasar, juga dipengaruhi oleh ukuran udang
yaitu satuan jumlah udang per kg. Semakin besar ukuran per satuan udang, maka
semakin tinggi harganya.
Berdasarkan data penjualan dengan ukuran
size 60 ekor/kg harga jualnya adalah Rp. 50.000,-/kg. Nilai 1 ton udang vanname
dengan ukuran tersebut akan menghasilkan Rp. 50.000.000,-. Dengan demikian net value kegiatan tersebut adalah Rp.
23.303.548,-. Nilai Eco-Effeciency Indek (EEI) diperoleh dengan membagi
price-cost dibagi nilai semua biaya
meliputi biaya riil dan biaya virtual untuk pencegahan dampak lingkungan. Nilai
EEI pada kegiatan tersebut berada pada rentang 0-1 yaitu sebesar 0,856 artinya
kegiatan budidaya udang vanname berbasis bioflok dalam katagori affordable
(terjangkau secara ekonomi) dan belum masuk dalam katagori sustainable (berkelanjutan). Pada dasarnya
penilaian ekoefeisensi adalah cara cepat untuk mengetahui bagaimana kegiatan
ekonomi mempengaruhi lingkungan alam untuk mencipatakan sebuah nilai ekonomi.
Dengan nilai EVR 0,048, walaupun nilai EEI menandakan tidak sustainable namun
pengaruh tersebut masih tergolong kecil, dengan mengevaluasi penggunaan bahan
dan input energi listrik maka nilai EVR bisa diperkecil. Bila nilai EVR semakin
kecil maka nilai kelayakan proses produksi udang vanname berbasis bioflok
semakin tinggi.
Karena merupakan upaya peningkatan kualitas
lingkungan dari setiap nilai ekonomi yang diciptakan maka tingkat ekoefisiensi
dapat dikuantifikasikan. Nilai EER rate pada budidaya udang vanname berbasis
teknologi bioflok adalah 61%, nilai ini dipengaruhi oleh biaya lingkungan yang
ditanggung. Semakin kecil dampak lingkungan yang ditimbulkan maka semikn kecil
biaya preventif yang harus dibayarkan dan dengan demikian maka semakin besar
nilai EER rate. Berbeda dengan teknik konvensional seperti biofiltrasi, bioflok
teknologi mendukung penguraian nitrogen, bahan organik dan biologis asalkan
oksigen terlarut dalam air tinggi (Avnimelech, 2009). Penerapan teknologi
bioflok membutuhkan manajemen yang tepat agar bisa berfungsi baik seiring
tuntutan pengurangan dampak lingkungan akibat kebutuhan bahan dan energi.
Teknologi bioflok berusaha mereduksi
akumulasi ammonium nitrogen dari
kemungkinan pecemaran akibat pembuangan limbah, namun input bahan dan energi
listrik yang besar belum memenuhi konsep
sustainable menurut perhitungan EEI. Untuk meningkatkan eko-efesiensi
dan reduksi dampak lingkungan maka perlu untuk mempertimbangakan kembali
penggunaan energi dan bahan yang menyumbang dampak lingkungan tinggi energi
listrik, pakan dengan bahan baku impor dan bahan kimia (klorin).
Kontribusi dampak lingkungan terbesar
kegiatan budidaya udang vaname di BBPBAP Jepara berasal dari input energi
listrik, input pakan udang, dan bahan kimia. Nilai net value per ton produksi
adalah Rp. 23.303.548,-, nilai EEI 0,856, nilai EVR 0,046, dan EER rate sebesar 95%. Dari penilaian EEI kegiatan
produksi udang vanname dengan biofloc technology system tergolong dalam
kategori affordable (terjangkau secara ekonomi) dan belum masuk dalam katagori
sustainable (berkelanjutan). Nilai ekoefisiensi perlu ditingkatkan dengan
mereduksi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penggunaan bahan, peralatan
dan konsumsi energi. Dengan perbaikan manajemen diharapkan akan
mengurangi
biaya produksi dan biaya lingkungan sehingga dapat meningkatkan net value dan
ekoefisiensi usaha.
Dapus
Ma’in,
Sutrisno Anggoro dkk.2013. Penilaian Ekoefisien Budidaya Intensif
Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) Berbasis teknologi Bioflok.
[jurnal] FPIK. Univ. Diponegoro. Semarang